Pagelaran Wayang Kulit di Tulungagung, Suatu Fenomenal

0

Oleh: Wawan Susetya*

PAGELARAN wayang kulit di daerah Tulungagung dan sekitarnya memang boleh dikatakan mewabah luar biasa. Antusiasme warga masyarakat terhadap pagelaran wayang kulit semalam suntuk memang sangat besar

Dalam satu malam saja di daerah Tulungagung bisa terdapat 3-5 pertunjukan wayang kulit di tempat yang berbeda. Terlebih lagi pada Bulan Suro, banyak pemerintah desa di wilayah Tulungagung yang mengadakan acara bersih desa atau bersih negari dengan mengadakan pementasan pagelaran wayang kulit semalam suntuk.

 

SENI BUDAYA-Ki Wongso Subagyo ketika pentas di Tulungagung.

Pada momentum itu, mereka banyak mengundang dalang lokal Tulungagung, seperti Ki Sun Gondrong dari Mirigambar-Sumbergempol, Ki Minto Sudarsono dari Rejotangan, Ki Eko Kondo Prisdianto dari Kendalbulur-Boyolangu, Ki Marsaid dari Bandung, Ki Budi Plandhang dari Ringin Pitu, Ki Heru Rahadi dari Tanggung-Campurdarat, Ki Sugito dari Ngantru, dan sebagainya.

Selain  tradisi secara turun-temurun, acara bersih desa atau bersih negari di Bulan Suro tersebut merupakan ekspresi tirakatan (menjalani hidup prihatin) dengan cara wungon (begadang) sambil menyaksikan pertunjukan wayang kulit pada malam hari hingga pagi.


LESTARIKAN BUDAYA: Dhalang Heru Rahadi ketika pertunjukkan.

Pagelaran wayang kulit itu ditutup dengan acara ritual ruwatan atau ngruwat oleh dhalang ruwat pada pagi harinya di akhir pertunjukan. Sedang, tujuannya antara lain menghindarkan sukerta (bencana, musibah, mala petaka) dan mendapatkan kebahagiaan serta ketentraman bagi warga desa.

Jika zaman dulu pagelaran wayang kulit identik dengan tontonan dan tuntunan bagi warga desa, tetapi di zaman now juga jadi tontonan dan tuntunan warga kota. Mengapa? Sebab, Pemda tingkat II Tulungagung sejak dulu sampai sekarang memiliki agenda rutin menyelenggarakan pagelaran wayang kulit di pendopo Kabupaten tiap tahunnya.

Bahkan, dhalang yang diundang pun tergolong dhalang kondang, seperti Ki Anom Suroto, Ki Mantep Sudarsono, Ki Purbo Asmoro, Ki Enthus Susmono, dan sebagainya.

FENOMENAL: Salah satu pamflet mengabarkan ada pertunjukkan wayang kulit di Tulungagung. (Foto-foto wawan susetya)

Selain itu, Organisasi Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) cabang Tulungagung juga sangat progresif menyelenggarakan pementasan rutin.

Misalnya di zaman kepemimpinan Bupati Ir. Heru Tjahjono, Pepadi Tulungagung selalu menyelenggarakan pementasan wayang kulit sebulan sekali di Gedung Pramuka. Tujuannya memberikan kesempatan kepada para dalang muda (pemula) untuk tampil di atas pentas dengan dibiayai dari anggaran APBD.

Dan, pada peringatan HUT Tulungagung yang ke-812 lalu, Ki Budi Pandhang selaku Ketua Pepadi juga tampil mendalang di Desa Sambirobyong, Kec. Sumbergempol tanggal 20 November 2017. Sementara, Pemda Tulungagung menampilkan Ki dalang Sun Gondrong di GOR Lembu Peteng.

Tak ketinggalan pula H Margiono, calon bupati (2018) juga mengundang Ki dalang Tantut Sutanto, dalang kondang dari Malang. Di lain waktu, Ormas GP Anshor juga mengundang Ki dalang Warseno Slank yang ditempatkan di kampus IAIN Tulungagung.

Instansi lain seperti partai politik (parpol), ormas, perbankan hingga instansi pemerintahan kecamatan hampir semuanya bahu-membahu meramaikan jagad pewayangan. Hal itu menjadi klop dengan antusiasme warga masyarakat yang gemar menonton wayang kulit.

Wayang kulit, selain merupakan tontonan yang menghibur, juga menjadi tuntunan mengenai budi pekerti dan karakter yang kuat bagi masyarakat. Bukan hanya itu, media wayang kulit pun nampaknya juga efektif untuk alat sosialisasi mengenai tahapan pilkada serentak tahun 2018 sebagaimana yang dilakukan KPU (Komisi Pemilihan Umum) Tulungagung. Maklum, Tulungagung bakal punya hajat besar Pilkada pada bulan Juni 2018 mendatang.

Rupanya itulah yang membuat para kandidat calon bupati Tulungagung seperti Ir. Syahri Mulyo (calon dari petahana, incumbent) dan H. Margiono (Ketua Umum PWI Pusat) seolah-olah berlomba-lomba menyelenggarakan pagelaran wayang kulit di berbagai daerah di Tulungagung sebagai ajang sosialisasi.

Dalam berbagai kesempatan, Margiono yang sering mementaskan ki dalang Sun Gondrong dan Budi Plandhang itu biasanya selalu memberikan bermacam-macam hadiah kuiz bagi para penonton.

Hadiah utamanya sepeda motor, bahkan sampai 3 (tiga) buah, serta hadiah-hadiah lainnya seperti sepeda gunung, uang, dan sebagainya. Demikian halnya dengan calon petahana Syahri Mulyo yang terkenal dengan slogannya: Ayem Tentrem Mulyo lan Tinoto.

Bahkan, Pemprov Jawa Timur di bawah kepemimpinan Pakde Karwo (Soekarwo) dan Gus Ipul (H. Syaifullah Yusuf) belum lama ini juga melakukan parade festival dalang keliling se-Jawa Timur dengan menampilkan Ki dalang Anom Suroto dari Surakarta.

Selain berbagai instansi di atas, warga masyarakat Tulungagung pun juga sering mengadakan pementasan wayang kulit semalam suntuk, terutama ketika mereka mempunyai hajat syukuran menikahkan putra-putrinya, acara khitan, dan sebagainya.

Meski pada kesempatan itu mereka harus merogoh koceknya puluhan juta rupiah, tetapi karena merupakan hobi atau kegemaran, hal itu tak menjadi masalah.

Belum lagi dengan adanya penyelenggaraan festival pedalangan yang diikuti para siswa tingkat SD, SMP dan SMA yang dilaksanakan di Balai Budaya, utara alun-alun Tulungagung.

Dalam berbagai kesempatan, para siswa (SD sampai SMA/SMK) sering menampilkan seni kethoprak (seni drama tradisional) dan seni pedalangan yang diiringi gamelan.

Makin semarak dan greget-nya seni-budaya di Tulungagung, terutama seni pedalangan itu tak lepas dari banyaknya bantuan gamelan dari Kemendikbud pusat ke sekolah-sekolah di Tulungagung.

Dengan adanya bantuan gamelan itu, tentu pihak Dikbud (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan) berusaha memajukan dan mengembangkan seni-budaya bagi para siswa di semua tingkatan.

Menurut Ki dalang Heru Rahadi, S.Kar, dalang kelahiran Tulungagung, semaraknya pagelaran wayang kulit di daerah Tulungagung memang merupakan suatu fenomena tersendiri.

Bagaimana tidak? Sebab jika dilihat dari jumlah pementasan secara kuantitatif, pagelaran wayang kulit di Tulungagung lebih ramai daripada di daerah Surakarta (Solo) yang merupakan pusat pendidikan dan kesenian wayang kulit, ujar pria lulusan ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) yang kini telah berganti nama ISI (Institut Seni Indonesia) Solo.

Meski pagelaran atau pementasan wayang kulit di daerah Surakarta (Solo) tak seramai di Tulungagung, namun para dalang kondang memang tinggal di Solo. Ia mencontohkan para dalang besar yang tinggal di Solo, antara lain Ki Anom Suroto, Ki Purbo Asmoro, Ki Warseno Slank dan sebagainya.

Sementara dalang kondang lainnya Ki Mantep Sudarsono tinggal di Karanganyar dan Ki Enthus Susmono tinggal di Tegal (kebetulan sebagai bupati). Bahkan, tak jarang ada beberapa dalang muda dari daerah lain yang sengaja menancapkan bendera sebagai dalang Solo, misalnya Ki Anom Dwijakangko dan Ki Cahyo Kuntadi, keduanya putra dalang kondang Ki Sukron Suwondo dari Blitar.

Secara umum, daerah Mataraman di wilayah selatan pedalaman Jawa Timur memang sangat marak pementasan wayang kulit, seperti Tulungagung, Kediri, Blitar, Trenggalek, Nganjuk, Ponorogo hingga Madiun. Hanya saja, menurut perkiraan Ki Heru Rahadi, nampaknya Tulungagung yang menempati ranking pertama dalam hal ini. Antusiasme warga masyarakat memang sangat luar biasa.

*Penulis adalah budayawan & penulis buku, tinggal di Tulungagung