JAKARTA-kadenews.com: Roda tak selamanya di atas, siapa yang tak kenal Teguh Karya, sutradara, pemain film yang telah menghasilkan karya adiluhung bangsa, peraih prestasi maha karya dan penghargaan nomor satu dalam festival film Indonesia.
Nama lain Teguh Karya adalah Steve Liem Tjoan Hok. Dia pemimpin Teater Populer sejak berdirinya tahun 1968. Ia enam kali menjadi Sutradara Terbaik dalam Festival Film Indonesia.
Karya filmnya mewarnai mutu budaya Indonesia, Wadjah Seorang Laki-laki (1971). Film pertama yang dibikin oleh Teguh Karya, para pemainnya berasal dari sanggar Teater Populer yaitu Slamet Rahardjo, Tuti Indra Malaon, N. Riantiarno, dan Laila Sari.
Sejumlah judul film karya Teguh yang lainnya dan mengangkat nama sutradara dan pemain bintangnya, adalah, Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari (1975), Perkawinan Semusim (1977), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1979), Di Balik Kelambu (1982), Secangkir Kopi Pahit (1983), Doea Tanda Mata (1984), Ibunda (1986), Pacar Ketinggalan Kereta (1986).
Semua karya kreatif itu idenya sebagian dari rumahnya di Jl. Kebon Kacang 9 No.67 Tanah Abang Jakarta. Namun siapa sangka rumah itu sekarang tak bertuan, hanya tersisa tulisan, Teater Gang Toeti Indra Maloan, di pelakat besi tua berkarat tertempel di dinding diatas atap teras depan.
Ruang depan tak karuan dipenuhi pedagang kaki lima, sementara ruang dalam yang dulu di gunakan untuk pertunjukan teater dengan lighting (tata lampu) terbaik di Indonesia kini tak tersisa entah kemana.
Teguh Karya pemilik rumah, meninggalkan selama lamanya ke alam baka, 11 Desember 2001, di Jakarta Pusat. Dia tidak meninggalkan anak maupun istri, hanya karya yang kini jadi milik bangsa.
Pia Syahbana, Cristin Hakim, Slamet Raharjo, Didi Petet, dan murid serta kerabat dekat berusaha menghidupkan teater populer, di rumah Kebon Kacang.
Mereka sepakat mendirikan yayasan, namun juga tak jelas nasibnya. Hanya seorang ibu penjual gado gado di teras rumah bersejarah menjadi saksi sisa sisa keperkasaan dan kejayaan maestro perfilman dan teater di tanah air.
“Saya hanya menempati saja, karena engkoh Teguh Karya tak beranak dan tak ber istri”, ujar ibu penjual gado gado yang tak mau di sebutkan namannya.
Menurut Toto Sugiharto, aktifis seni lulusan UGM, menyatakan film berjudul”November 1928″, merupakan karyanya yang apik dan memikat nenceritakan tentang loyalitas dan pengkhianatan.
Teguh Karya dalam film ini mencoba menggambarkan tentang perjuangan dan pengorbanan dengan setting perang Diponegoro dan Sentot Prawirodirdjo melawan Belanda.
Alur cerita dimulai dengan latar belakang pemberontakan penduduk desa di Jawa terhadap penjajahan Belanda. Kromoludiro sebagai pemimpin yang disegani penduduk dikhianati oleh Jayengwirono.
Jayengwirono memberitahukan kepada Kapten Van Der Borst bahwa Kromoludiro mengetahui persembunyian Sentot Prawairodirdjo. Ditangkaplah Kromoludiro oleh Belanda. Dari sinilah dinamika konflik pun dimulai dengan penguatan karakter masing-masing pemain film.
Konflik-konflik yang dibangun didalamnya tak sefrontal permusuhan Belanda dan Rakyat Jawa secara umum. Kalau kita cermati dalam film ini ada konflik yang sungguh frontal dalam diri pasukan Belanda sendiri.
Pasukan Belanda yang sebagian keturunan Indo mengalami ambiguitas sikap yang terus berkecamuk. Antara faktor rasa nasionalisme dan kemanusiaan berdasar ras keturunan terus berputar dan saling mengisi dalam menentukan sikap nurani pasukan Belanda sendiri yang secara cermat diperankan oleh Kapten Van Der Borst dan Letnan van Aken yang tidak tulen Belanda.
Hal mencolok yang berkonflik sebenarnya bukanlah dua pihak. Akan tetapi lebih konflik satu pihak dengan pihaknya sendiri. Peran Demang Jayengwirono dengan fitnahnya terhadap Kromoludiro.
Kemudian Kapten Van Der Borst yang berperang karena ambisi pribadinya yang kemudian ditentang oleh Letnan Van Aken karena sudah dianggap diluar batas. Akan tetapi kemudian hal ini menjadi konflik yang ‘berdarah’ di dalam satu pihak sekaligus pihak yang lain.
Teguh dalam film ini menggambarkan bahwa sikap kebencian, permusuhan, ketidaksukaan yang berlebihan terhadap individu atau golongan yang lain seringkali dan bahkan merupakan bentuk dan wujud yang tak disadari dari kekakuan dan ketegangan dalam diri sendiri. Ini sangat membahayakan dalam kelangsungan keharmonisan bermasyarakat.
Nilai sebuah persatuan dan gotong royong secara apik dipoles sedemikian rupa dalam alur film ini. Bahu-membahunya kaum padepokan (agama), jathilan (seniman), penduduk desa (rakyat) dalam film ini menjadi satu kesatuan yang utuh dan kuat dalam menghadapi penjajahan Belanda.
Sampai kapanpun namanya penjajahan tak aka ada tempat dalam ruang persatuan yang kuat dan itu tergambar jelas dalam bersatunya rakyat dalam film ini. Konsep pemimpin pun menjadi penting dalam sebuah persatuan. Diponegoro dan Sentot menjadi sosok pemimpin yang sangat dipatuhi oleh pengikutnya. Akan menjadi hal yang berbeda ketika seorang dianggap pemimpin karena faktor jabatan bukan keberanian dan ketulusan.
Buktinya Kromoludiro lebih disegani karena keberaniannya daripada Jayengwirono yang menjadi pemimpin karena faktor jabatan yang tak diimbangi dengan keberanian dan ketulusan.
Namun sosok Diponegoro tidak ditampilkan secara nyata. Bahkan penggambaran Sentot hanya muncul beberapa saat dan diakhir cerita. Hal ini seakan menjadi sangat kontras jika melihat latar belakang cerita film ini.
Tetapi itulah keunikan Teguh, dia tak hanya ingin fokus satu hal. Tetapi bagaimana semua itu menjadi satu ramuan yang utuh yang menjadi satu-kesatuan cerita yang menarik dan penuh pesan.
Sepenggal dialog Kromoludiro menjadi buktinya : “Sebuah pademangan jika terdiri dari banyak maling akan membuat sebuah kabupaten tidak bisa berdiri.
Sebuah kabupaten jika terdiri dari banyak maling tidak bisa membuat sebuah kepatihan berdiri. Sebuah kepatihan jika terdiri dari banyak maling tidak bisa membuat sebuah kesultanan berdiri kokoh.
Jika penduduk sebagian besar terdiri dari maling, maka lebih baik pulau Jawa ini tenggelam ke dasar laut.” Sekali lagi, Jer basuki mawa bea.”
Semoga rumah duka maestro film itu di rawat dan dijaga kelestariannya”, ujar Saivol aktifis asal Tulungagung yang sempat nampir ke Rumah Teguh Karya di Jl. Kebon Kacang 9 Jajarta. (nal/01)