Berita Komunitas

Tema Menarik dan Tamu-Tamu Istimewa Maiyah Segi

Oleh: Wawan Susetya

0
MENATA HATI: Penulis Wawan Susetya dan moderator Dhiya' yang memimpin diskusi Maiyah Segi.

MAIYAH SEGI (Setu Legi) Tulungagung merupakan suatu forum diskusi bulanan yang dilaksanakan setiap malam Setu Legi bertempat di basecamp Boyolangu Tulungagung.

Forum diskusi SEGI tiap malam Setu Legi tersebut terinspirasi dari kegiatan Sinau Bareng Maiyah yang dipandhegani budayawan Emha Ainun Nadjib yang telah memiliki sekitar 54 simpul atau cabang di berbagai daerah dan membangun kordinasi dengan pihak Progress Maiyah di Kadipiro Yogyakarta.

Bapak Sukriston dan Mbak Monis.

Selain itu terdapat pula ratusan forum diskusi lingkar Maiyah yang tersebar di seluruh Indonesia. Dan, Maiyah Segi merupakan salah satu forum lingkar Maiyah di Tulungagung yang diikuti oleh berbagai kalangan dari bermacam-macam latar belakang dan profesi, ada guru, dosen, mahasiswa, pedagang, karyawan pabrik, petani, wiraswasta, dan sebagainya.

Bapa sukriston (pakai mblangkon) dan Ki Sun Gondrong (kaos merah)

Sebagaimana makna Maiyah yang artinya kebersamaan, maka forum diskusi Maiyah Segi juga membangun kebersamaan kepada sesama warga Tulungagung dan sekitarnya dengan tujuan menghidupkan budaya diskusi untuk mendiskusikan dan membahas berbagai tema mengenai persoalan-persoalan yang sedang aktual.

Suasana diskusi Maiyah Segi mulai dari pilkada hingga piala dunia.

Sebelum itu sebenarnya telah ada forum diskusi JIMAT (Jamaah Maiyah Tulungagung) yang dimotori oleh Sdr Anang Prasetyo dkk tapi kemudian vakum. Setelah itu lahirlah forum diskusi Maiyah Segi. Pada bulan Desember 2016, berkumpullah Sdr Dhiya, Ivandani, Agung Pinastiko, Bagas, Makhrus, Aris Setiawan dkk di rumah Wawan Susetya di Boyolangu yang bertujuan menghidupkan kembali forum diskusi bulanan di Tulungagung.

Maka, sejak bulan Desember 2016 bertepatan malam Setu Legi dimulailah diskusi Maiyah Segi hingga sekarang.
Hampir dua tahun berjalan, Forum diskusi Maiyah Segi seringkali bersamaan dengan event atau momentum penting, entah PHBN (Peringatan Hari Besar Nasional), PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) maupun peristiwa penting lainnya yang aktual saat itu.

Momentum penting yang pernah dijadikan tema diskusi-diskusi Maiyah Segi tersebut antara lain peristiwa Hari Pendidikan, hijrah Nabi Muhammad, Isra Miraj Nabi Muhammad, Hari Kebangkitan Nasional, Puasa Ramadhan, tahun baru, dan sebagainya.

Diskusi Maiyah Segi yang terbaru tanggal 29 Juni lalu yang mengangkat tema Goal of The Win yang bersamaan dengan tiga momentum penting, yakni Hari Kemenangan di bulan Syawal, Piala Dunia 2018 yang tengah berlangsung di Rusia, dan Pilkada serentak yang dilaksanakan tanggal 27 Juni 2018.

Tentu merupakan tema yang sangat menarik, sehingga wajar Forum diskusi Maiyah Segi kedatangan tokoh-tokoh penting Tulungagung malam itu, antara lain dhalang kondhang Ki Sun Gondrong, tokoh penghayat Bapa Sukriston, Mbak Monish yang masih kuliah pasca sarjana di Italia, dan sebagainya.

Lebaran Leburan Luberan Laburan
Selaku tuan rumah Wawan Susetya memberikan sambutan hangat kepada para tamu dan audiece yang memenuhi serambi rumah. Dalam kesempatan itu, ia menjelaskan mengenai tiga momentum atau peristiwa penting yang berkaitan dengan menang-kalah dalam kehidupan yang tengah berlangsung saat itu dan dijadikan tema diskusi pada malam hari itu.

Mengenai Hari Kemenangan atau disebut dengan Hari Raya Idul Fitri, kembali ke fitrah usai menunaikan ibadah puasa sebulan penuh. Yang dimaksud tentu sebagaimana yang diisyaratkan firman Allah Swt dalam Surah al-Baqarah 183 bahwa tujuan puasa agar menjadi orang yang bertakwa.

Mereka itulah sebenarnya yang berhak berbuka atau meraih kemenangan atas nafsunya pada Hari Kemenangan lalu menjalankan ibadah Shalat Ied di Hari Raya Idul Fitri dan berlebaran dengan sesama manusia.

Pada momentum halal-bihalal dewasa ini, beberapa tahun ini ada tradisi baru yang disebut dengan Hari Raya Kupatan yang berlangsung di Tulungagung dan sekitarnya. Hal itu nampaknya terinspirasi dari tradisi Kupatan di daerah Kamulan Durenan Trenggalek yang telah berlangsung sejak lama. Hari Raya Kupatan dilaksanakan pada hari raya ke-7, usai menunaikan ibadah puasa Syawal 6 hari yang dimulai hari ke-2. Di Tulungagung dimotori Desa/Kecamatan Boyolangu yang telah berlangsung sekitar 6 tahun.

Hampir semua lingkungan masyarakat di Boyolangu membuat masakan dari lontong ketupat untuk diberikan kepada para tamu yang datang dari berbagai daerah, bahkan banyak pula yang dari luar kota. Biasanya para tamu dihibur pula dengan iringan musik.

Sunan Kalijaga pernah memberikan nasihat berkenaan dengan tradisi kupatan, artinya ngaku lepat (mengaku bersalah) sehingga memohon maaf kepada kedua orang tua, sanak-keluarga dan handai tolan serta para sahabat. Dalam hal ini kemudian muncullah istilah lebaran, leburan, luberan, dan laburan.
Lebaran adalah kegiatan saling berkunjung atau bersilaturahmi ke sanak-saudara di Bulan Syawal usai atau pasca menunaikan ibadah puasa sebulan penuh.

Leburan adalah saling melebur atau menghalalkan semua dosa dari semua pihak, sehingga dikenal dengan istilah halal-bihalal.

Luberan adalah memberikan infaq shadaqah kepada para faqir-miskin dan mereka yang membutuhkan. Luber artinya berkecukupan, sehingga kelebihan rizki dari Allah itu hendaknya diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya.

Laburan adalah upaya pembersihan hati. Hal itu tercermin dari tradisi melabur rumah dengan gamping yang berwarna putih sebagai isyarat membersihkan hati yang dilakukan masyarakat pedesaan sejak dulu.

Menang Tanpa Ngasorake
Dalam kehidupan, karena tak lepas dari praktik-praktik persoalan menang-kalah, Wawan mengingatkan tentang nasihat pujangga Jawa kenamaan Ki Sosrokartono Menang tanpa ngasorake. Menang yang dimaksud tak lain menang terhadap hawa nafsu kita.

Sementara dalam khasanah Jawa dikenal dengan empat nafsu, yaitu nafsu ammarah, lawwamah, supiyah (mulhimah) dan muthmainnah.
Sementara Ki Sun Gondrong, dhalang kondang Tulungagung mengingatkan slogan Jawa kuna Uwong niku nek mboten seleh, salah solah, sul-asule bakal sulaya. Artinya orang itu kalau tidak mau rendah hati (tawadhu), bahkan terhadap tingkah lakunya, niscaya akan berdampak pada percekcokan atau kekeliruan fatal.

Ia juga menjelaskan mengenai hikmah puasa yang diterimanya dari para kyai, yakni mendapat rahmat Allah yang identik dengan kasih sayang Allah, mendapatkan taufik atau diridhoi-Nya, mendapat inayah atau mendapat pertolongan dari Allah, mendapat hidayah sehingga dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil. Lebih jauh, hidayah tersebut dapat dimaknai bahwa hendaknya seseorang selalu menjaga bicaranya yang bersumber dari kebenaran dari lubuk hati yang paling dalam.

Bapak Sukriston, tokoh penghayat Tulungagung dalam kesempatan itu mengatakan bahwa kemenangan dalam sepak bola pun kadang-kadang juga sulit diprediksi dan tak bisa dilogika, misalnya kekalahan kesebelasan Jerman dan kemenangan Korsel. Bagaimana pun, semuanya bisa terjadi dalam sebuah pertandingan sepak bola, termasuk dalam piala dunia 2018 ini.

Ia juga mengingatkan mengenai hasil Pilkada, baik di Tulungagung maupun Propinsi Jawa Timur. Dalam Pilkada di Tulungagung yang diikuti dua paslon yaitu Mardeko (Margiono dan Eko Prisdianto) dan Sahto (Syahri Mulyo dan Maryoto Bhirowo) itu akhirnya dimenangkan Sahto.

Sementara Pilkada Jatim juga diikuti dua paslon yaitu pasangan Khofiah Indar Parawansa-Emil Dardak dan Syaifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno Putra akhirnya dimenangkan pasangan nomer 1 (Khofiah Indar Parawansa-Emil Dardak).
Kita harus menerima dan menerima hasil dari sebuah proses demokrasi baik masyarakat Tulungagung maupun Propinsi Jawa Timur. Hendaknya kemenangan tersebut dikawal seperti Teori Phitagoras yang intinya adanya keseimbangan antara kuantitas dan kualitas, “jelasnya.

Tak kalah serunya pandangan Mbak Monis yang kini tengah studi program pasca sarjana di Italia yang mengungkap mengenai Serat Bhagawat Gita mengenai kegamangan Raden Arjuna ketika berada di medan peperangan Tegal Kurusetra. Saat itu Arjuna melihat kakeknya Resi Bhisma, gurunya Resi Durna, saudara tua atau kakaknya Adipati Basukarna, saudara-saudara sepupunya para Kurawa, kerabatnya Prabu Salya, dan sebagainya.

Nah, betapa gamang hati Arjuna saat akan berperang menghadapi kakeknya, guru, saudara, dan kerabatnya untuk mendapatkan haknya Negara Astina. Tetapi, jika Arjuna harus mengalahkan mereka, orang-orang yang dihormati, lalu jenis kemenangan apa itu? kata Mbak Monis menggugah kesadaran berpikir para jamaah.

Tak ayal, Mbak Monis pun memberikan benang-merah atas ceritanya mengenai nasihat Prabu Sri Bathara Kresna kepada Arjuna bahwa semua itu musti dilakukan oleh seorang ksatria seperti Arjuna, bukan karena hendak mendapatkan bagian warisan Negara Astina, tetapi semata-mata karena melakukan darma yang identik dengan memayu hayuning bawana (memelihara dan memakmurkan bumi seisinya) termasuk menumpas angkara murka.

Diskusi Maiyah Segi yang dipandu Saudara Dhiya pun menjadi bertambah seru terlebih ketika membahas mengenai sepak bola dalam Piala Dunia 2018 yang sudah menjadi ranah industri alias bisnis. Disinyalir pula, karena sepak bola sudah menjadi bagian dari industri, tak ayal di sana banyak kepentingan bisnis, termasuk adanya pengaruh bandar bola.
Demikian halnya, sebagaimana dijelaskan oleh Saudara Agung Pinastiko guru SMA Kedungwaru bahwa dalam dunia politik pun tak lepas adanya botoh yang dapat mencederai demokrasi. Menurut Agung, sebenarnya dalam sejarah di Nusantara ada peristiwa penting yang sangat esensial mengenai praktik demokrasi dari zaman ke zaman di Nusantara.

Sayangnya, praktik demokrasi sekarang ini sudah tercerabut dari akarnya, sehingga menjadi carut-marut seperti yang terjadi dewasa ini.

Dan, makin malam pun suasana diskusi semakin hangat. Diskusi usai hingga pagi, sebelum adzan Subuh berkumandang. (*)