Bila Terbukti Melanggar soal Mutasi, Cabup Lumajang As’at Terancam Didiskualifikasi

0
PETAHANA: Cabup H As'at Malik usai diperiksa di kantor Panwaslu.(Foto: Fat/kadenews.com)

LUMAJANG-kadenews.com: Mutasi pejabat di lingkungan Pemkab Lumajang yang dilakukan oleh Drs. As’at Malik, M. Ag Calon Bupati Lumajang sebelum masa cuti, beberapa waktu lalu, akhirnya berbuah masalah serius.

Panwaslu sebelumnya telah memanggil saksi-saksi terkait mutasi, Senin (29/5/2018) malam mendatangkan
Saksi ahli DR Hufron Pratisi Hukum dari Untag Surabaya.

SAKSI AHLI: DR Hufron, Pratisi Hukum dari Untag Surabaya.

Hufron usai memberikan keterangan kepada Panwaslu, Senin (29/5/2018) malam mengatakan yang ditanyakan pasal 71 ayat 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016. Intinya,  kepala daerah dilarang melakukan penggantian pejabat dalam waktu 6 bulan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri.

“Prinsipnya dilarang. Kalau ada persetujuan tertulis maka itu menjadi boleh. Itu yang pertama,” jelasnya

Yang kedua, setelah disetujui oleh Mendagri, apakah kepala daerah kemudian membuat surat keputusan mutasi itu sesuai dengan persetujuan yang diberikan oleh Mendagri.

“Itu bisa saja ternyata tidak sesuai, baik jumlah maupun nomenklatur jabatannya tidak sesuai,” ungkap  Hufron.

Dia mengatakan, seumpama, pelantikannya 652 orang, yang diajukan 563 orang, lalu katanya ada pengukuhan yang jumlahnya 86 orang.  Ada sisa 3 orang yang dilantik tetapi tidak masuk di dalam pengukuhan dan tidak masuk di dalam mutasi.

“Berarti itu tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan di Pasal 71 Ayat 2. Karena apa? karena tidak mendapatkan rekomendasi dari Mendagri tapi kok tetap dilantik,” jelasnya.

Untuk yang ketiga, mestinya itu kan mutasi. Mutasi itu kan pada level yang sama. Maka dari itu tidak boleh demosi (penurunan jabatan), tidak boleh kemudian keputusan itu memberikan sebuah hukuman disiplin dengan jabatan yang lebih rendah. Namanya mutasi, itu kan memindahkan jabatan yang selevel.

Jadi misalnya, sebelumnya menjadi kepala puskesmas tiba-tiba dijadikan dokter fungsional. Itu namanya demosi, padahal ini mutasi.

Makanya ini harus dicek oleh Panwaslu/ Bawaslu, oleh penyidik apakah surat keputusan yang dibuat oleh kepala daerah sesuai dengan persetujuan Mendagri, baik soal jumlah maupun nomenklaturnya, apakah mutasi atau demosi.

“Kalau ternyata itu tidak sesuai dengan jumlah, tidak sesuai dengan nomenklatur berarti melanggar pasal 71 ayat 2,” tegasnya.

Sekarang adalah tugas Panwaslu untuk membuktikan apakah kasus Lumajang ini calon bupati imcumbent melanggar terhadap mutasi yang dilakukan.

“Harus dicek betul satu-satu mengenai jumlah, nomenklaturnya, dan soal posisinya kan mutasi bukan demosi bukan promosi,” ujar Hufron.

Menurutnya dalam mutasi ni bukan demosi, bukan promosi. Bukan naik satu tingkat untuk promosi atau turun satu tingkat, ini harus selevel.

“Nah, itu tugasnya Panwaslu untuk menguji dan membuktikan berdasarkan dokumen-dokumen itu tadi untuk membuat kesimpulan adanya indikasi pelanggaran atas pasal tersebut. Kalau terbukti, maka mengacu pada Pasal 71 Ayat 5 bisa direkomendasikan untuk diskualifikasi. Itu sanksi administrasinya. Di samping ada sanksi pidananya yakni 6 bulan penjara dan denda Rp 600 ribu maksimal Rp 6 juta,” ungkapnya.

Disinggung soal adanya 2 surat ganda Mendagri, pria kelahiran Lumajang, 6 Maret 1968 ini, kembali menjelaskan dengan gamblang.

“Ada 2 surat Mendagri. Yang satu mutasi untuk 513, yang satu mutasi untuk 563. Tapi sebenarnya, kalau melihat kronologisnya, yang 513 itu sebenarnya pengajuan suratnya adalah 18 Desember 2017, tapi yang untuk 563 pengajuan suratnya 28 Desember 2017,” jelasnya.

Mestinya, kalau lihat pengajuannya beda, harusnya nomornya beda, jumlahnya beda, meskipun yang tanda tangan sama, meskipun tanggalnya sama. Yang unik dan janggal, pengajuan tanggalnya beda, jumlahnya beda tapi tanggal pembuatan sama. “Ini kurang cermat,” ujarnya.

Kalau soal sah tidaknya, menurut hukum kedua surat tersebut sah sepanjang tidak dibatalkan oleh yang membuat atau atas perintah pengadilan. Karena yang membuat tidak membatalkan, karena tidak ada klausul yang menyebut 563 mencabut 513. Sehingga Panwaslu tinggal menguji yang 513 di mana letak pelanggarannya dan 563 di mana pelanggarannya. Sementara kan yang dilantik 652 orang termasuk yang katanya 86 orang pengukuhan.

Kalau yang mendapatkan izin Mendagri 563 ditambah 86 pengukuhan lalu dikurangi 652 jumlahnya masih kurang 3 orang.

“Berarti ada 3 orang yang tidak mendapatkan rekomendasi tapi dilantik. Itu kan berarti tidak sesuai dengan persetujuan Mendagri. Itu kan pelanggaran. Itu harus dicek orangnya, nomenklaturnya, dan posisinya harus mutasi,” tutur lulusan S3 Ilmu Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang ini.

Hufro mmenggaris bawahi, di dalam penjelasan Pasal 71 Ayat 2, yang dimaksud dengan penggantian dibatasi hanya dalam mutasi jabatan, bukan promosi bukan demosi. Bukan naik bukan turun.

“Kalau cermat dan teliti, lalu ditemukan adanya pelanggaran, maka panwaslu bisa mendiskualifikasi.Itu saja”, tukasnya.(fat/ian)