Kepala Sekolah Membantah

Founder SMA SPI Kota Batu Dilaporkan Dugaan Asusila

0
MEGAH: Hotel di area SMA Selamat Pagi Indonesia yang menjadi tempat praktik siswa untuk dicetak menjai enterpreneur. Foto: Kadenews.com

KOTA BATU – KADENEWS.COM: SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) di Kota Batu selama ini menjadi buah bibir karena keberhasilan menerima siswa yang tidak mampu untuk didik menjadi enterpreur secara gratis.

Namun kali ini SMA SPI menjadi buah bibir bukan karena prestasi. Yang mengejutkan founder (pendiri) Sekolah SPI berinisial JES (48) dilaporkan ke Polda Jatim oleh Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak (PA), Arist Merdeka Sirait, Sabtu (29/5) . Dugaannya pengusaha yang juga motivator asal Surabaya  itu melakukan kejahatan seksual berulang-ulang  kepada siswa perempuan sejak kelas 1,2 dan 3 Sekolah API hingga lulus selama bertahun-tahun.

Saat melapor ke Polda Jatim, Arist Merdeka Sirait bersama Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Batu, MD Furqon. Dari 15 korban, hanya tiga orang yang ikut mendatangi Mapolda Jatim berasal dari Madiun, Kutai dan Poso, sisanya kembali ke daerahnya.

“Ternyata sekolah SPI  di Kota Batu itu menjadi malapetaka bagi peserta didik di sana. Karena pemilik SPI melakukan (dugaan.red) kejahatan seksual berulang-ulang kepada anak didik mulai kelas 1, 2, 3 sampai anak itu lulus,” ujar Arist kepada wartawan.

Ia menyebutkan dugaan pelaku kekerasan seksual itu adalah pemilik sekolah yang berinisial JE. Perilaku JE diduga masuk dalam kejahatan luar bisa. Yakni kejahatan seksual sampai usia dewasa.

“Tak hanya sekali, tapi berulang dan dilakukan di lokasi di mana anak itu dididik yang seyogyanya menjadi enterpreneur dan berkarakter,” ujarnya.

Menurutnya perilaku pemilik sekolah terhadap anak-anak dalam kondisi sangat menyedihkan. “Bahkan kekerasan seksual tak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga saat melakukan kunjungan ke luar negeri,” ungkapnya.

Memang puluhan siswa SMA SPI ini pernah diajak keluar negeri mulai dari Singapura, Hongkong hingga ke Eropa pada 2016. Mereka juga merasakan naik kapal pesiar Royal Karibian. Kisahnya perjalanannya ini difilmkan dengan judul Anak Garuda pada tahun 2020.

Arist memaparkan, dari laporan yang ia terima juga ada kejahatan fisik berulang seperti memukul, menendang, memaki, dan verbal. Tak hanya itu, di sekolah itu terjadi  kekerasan ekonomi. Mereka bersekolah tetapi dipekerjakan melebihi waktu jam kerja dan tidak dapat imbalan layak.

“Jadi dari data konfirmasi pada korban ada tiga kejatahan. Yakni kejahatan seks berulang, terjadi ekspolitasi ekonomi dan kekerasan fisik. Ada yang dari Palu, Kalimantan Barat, Kudus, Blitar, Kalimantan Timur, dan sebagainya,” ujarnya prihatin.

Arist menjelaskan JE bisa dikenakan 3 pasal berlapis yaitu kekerasan seksual Pasal 82 UU 35 tahun 2014 dan UU 17 tahun 2016 dengan hukuman maksimal seumur hidup.

“Bahkan kalau itu terbukti dilakukan berulang-ulang bisa dikebiri. Kemudian eksploitasi ekonomi bisa di Pasal 81, kekerasan fisik di Pasal 80. Ini serius persoalannya, bukan hanya semata-mata tindak pidana biasa. Ini luar biasa,” jelasnya.

Arist menyesalkan korban merupakan keluarga miskin yang seharusnya sekolah mendidik agar mereka mendapat prestasi. Tapi malah dieksploitasi.

Untuk menguatkan pelaporan, Arist membawa bukti dan saksi lengkap Terutama korban yang memiliki pengalaman pahit, bukti dan data terkonfirmasi dan testimoni dari korban. Untuk mengkonfirmasi dan pengumpulan data Tim Komnas HAM mendatangi rumah para korban, minggu lalu.

“Kesaksian itu adalah pembenaran. Terbongkar kejahatan seksual tersebut karena adanya tekanan yang telah tersimpan sejak lama. Sehingga mempengaruhi psikologis mereka dan melaporkan ke Komnas PA,” bebernya.

Berdasarkan berbagai bukti dan keterangan saksi tersebut, Komnas PA melaporkan inisial JE dengan tiga dugaan pasal berlapis, yakni dugaan kekerasan seksual terhadap anak, kekerasan fisik dan verbal terhadap anak, dan eksploitasi anak-anak.

” Dia bisa dikenakan 3 pasal berlapis yaitu kekerasan seksual Pasal 82 UU 35 tahun 2014 dan UU 17 tahun 2016 dengan hukuman maksimal seumur hidup. Bahkan kalau itu terbukti dilakukan berulang-ulang bisa dikebiri. Kemudian eksploitasi ekonomi bisa di Pasal 81, kekerasan fisik di Pasal 80. Ini serius persoalannya, bukan hanya semata-mata tindak pidana biasa. Ini luar biasa,” pungkasnya.

Menanggapi pelaporan tersebut, Kepala SMA Selamat Pagi Indonesia, Risna Amalia membantah adanya kekerasan seksual di Sekolah SPI.

“Kami tidak tahu siapa yang memasukkan bahan pelaporan, dengan tujuan apa dan memiliki motif apa membuat laporan itu,” balasnya.

Menurutnya sejak dirinya menjadi kepala sekolah  SPI sejak 2007, sekaligus ibu asrama  tidak pernah terjadi kejadian seperti yang dituduhkan. “Sepertinya ada yang memiliki tujuan tidak baik kepada SPI maupun Pak Julianto pribadi,” tegasnya kepada New Malang Pos. (ian)