Noe: Diperlukan Swarm Intelligence dalam Bentuk Community

OLEH: WAWAN SUSETYA

0
BAHAS BUDAYA: Noe, panggilan akrab Sabrang Mowo Damar Panuluh saat menjadi pembicara di pendapa Tawangsari Tulungagung, Jumat malam (20/7/2018).

TULUNGAGUNG-kadenews.com: Mas Noe, panggilan akrab Sabrang Mowo Damar Panuluh vokalis grup band Letto dari Yogyakarta bukan hanya piawai dalam menyanyi saja, tetapi juga memiliki pemikiran yang sangat cemerlang. Hal itu terbukti ketika Mas Noe tampil dalam sarasehan budaya dengan tema

“Relevansi Budaya Lokal Dan Islam dalam Sudut Pandang Sains” dalam rangka rangkaian event sejarah Pasendari (Paguyuban Sentono Dalem Tawangsari) di pendapa Tawangsari Tulungagung, Jumat malam (20/7/2018).

Serangkaian kegiatan  dilakukan di pendapa Tawangsari, antara lain pameran pusaka atau keris, diskusi sejarah, kirab budaya, dan sebagainya.

BUDAYAWAN: Noe bersama penulis Wawan Susetya.

Sebagaimana sang ayah budayawan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun, tak pelak Mas Noe pun mampu menghipnotis sekitar 350-an orang peserta diskusi yang dipandu Saudara Dhiya’u Shidiqy.

Sementara pembicara lainnya adalah Dr. Abdillah Subhin yang berbicara mengenai sejarah perdikan Tawangsari peninggalan Pangeran Abu Manshur sekitar tahun 1675 Saka/1750 Masehi sebagai heritage (cagar budaya) Islam sekaligus berkaitan erat dengan babad Tulungagung.

Dalam sarasehan budaya itu, Mas Noe mengawali dengan menjelaskan mengenai proses siklus terbentuknya suatu peradaban yang dimulai adanya kekacauan di masyarakat, sehingga menggunakan “hukum rimba”.

Artinya siapa yang paling kuat, maka dialah yang paling berkuasa seperti di zaman Jahiliyah Arab. Setelah itu muncullah tokoh inspirator yang tentu saja kharismatik dan berwibawa, sehingga menarik perhatian banyak orang. Mereka itu, misalnya para Nabi atau Rasul, para wali, Wali Sanga, para Ulama dan sebagainya.

“Setelah itu Sang tokoh inspirator memberikan sebuah payung atau peraturan yang musti dipatuhi bersama. Kalau sekarang payung kita itu adalah hukum. Dan, hukum itu peraturan di atas semua manusia, sehingga terjadi kestabilan di dalam masyarakat,” ujar Noe yang telah menggondol dua gelar sekaligus, Bachelor of Mathematic dan Bachelor of Physics University of Alberta Kanada.

Lebih jauh, Mas Noe menjelaskan bahwa setelah terjadinya kestabilan sosial di dalam masyarakat, maka muncullah sains. Maka di situlah dimulainya pengembaraan akal manusia atau pengembaraan ilmu.

“Karena manusia mau belajar, lama-kelamaan akhirnya mereka menjadi pintar. Namun, karena manusia mempunyai naluri untuk membesarkan dan melebarkan diri, maka mereka berusaha menguasai manusia yang lain. Bagaimana caranya? Dengan menguasai payung, yaitu payung hukum,” jelas pria kelahiran 10 Juni 1979 itu.

Mas Noe kemudian mencontohkan, misalnya orang berusaha menguasai hukum, membayar jaksa, menyewa pengacara, dan sebagainya. Singkat cerita orang berlomba-lomba untuk berusaha menguasai orang lain dengan menguasai payung hukum tadi, sehingga lama-kelamaan terjadilah pergolakan lagi.

Setelah itu muncul lagi tokoh inspirator, begitu seterusnya. Dan, itulah siklus terjadinya suatu peradaban di dunia.
Dalam pada itu, Mas Noe menjelaskan mengenai perbedaan sistem kerajaan dan demokrasi ketika pergantian kekuasaan.

Dalam sistem kerajaan, ketika terjadi pergantian kekuasaan sering diwarnai dengan pertumpahan darah karena adanya persaingan antara para pangeran. Sementara, dalam sistem demokrasi sangat jarang, paling ribut-ribut sebentar. Dalam menjalankan suatu peraturan, misalnya, dalam sistem kerajaan lebih simpel karena semuanya tunduk pada perintah Sang Raja.

Hanya saja, dalam sistem demokrasi sekarang, misalnya ketika akan menjalankan pemilu dan pilkada hingga pilpres membutuhkan biaya trilyunan rupiah.

Untuk mewujudkan keadaan society (masyarakat) yang teratur dan tertata, menurut Mas Noe diperlukan apa yang disebut dengan swarm intelligence, yakni kepandaian atau kecerdasan dalam membentuk community atau berkomunitas. Atau disebut juga dengan kepandaian murni.

Hal itu sebagaimana yang dicontohkan oleh kehidupan semut yang memiliki dua identifikasi, yaitu bersilaturahmi dan berani menjadi atau siap melaksanakan tugas di dalam masyarakat.

Demikian pulalah yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika berhijrah dari Makkah ke Madinah dalam meneladani semut. Saat itu, di Madinah sudah ada kaum Yahudi dan Nasrani, bahkan ada golongan kafir yang tidak mempercayai Tuhan.

Nabi Muhammad kemudian mengumpulkan semua pemimpin umat tadi untuk merumuskan peraturan yang disepakati bersama yang kemudian disebut dengan Piagam Madinah.

Berkat kepemimpinan Nabi Muhammad, maka terwujudlah Negara Madinah; yakni suatu keadaan masyarakat yang tertata dan damai.

“Demikian halnya dengan yang dilakukan para Wali Sanga dan para Wali lainnya ketika membentuk suatu peradaban di masyarakat. Semuanya memiliki apa yang disebut dengan swarm intellIgence yang meniru semut,” ujar pria yang menikahi perempuan asal Sulawesi dan sudah dikaruniai dua orang anak itu.

Oleh karena itu, Mas Noe berpesan agar setiap insan berusaha menjadi “pupuk” di komunitasnya masing-masing. Atau barangkali menjadi orang yang dirindukan oleh sesama anggota dalam komunitas itu.

“Dan, untuk mewujudkan hal itu mulailah dengan kebiasaan senyum,” jelas Mas Noe yang telah menelorkan beberapa album lagu pop itu.

Sarasehan budaya yang dipimpin Dhiya’u Shidiqy yang keturunan mendiang Pangeran Abu Manshur itu makin bertambah seru setelah dilanjutkan dialog.

Dalam sesi dialog itu, Mas Noe juga menyindir para audience yang kebanyakan para mahasiswa. Tentu saja mereka masih banyak yang jomblo.
Kepada mereka yang masih jomblo, baik laki-laki maupun perempuan, Mas Noe mengatakan, “Anda yang masih jomblo biasanya cintanya hanya ditujukan kepada dirinya sendiri. Bahkan ketika sudah punya pacar pun, cintanya tetap ditujukan kepada dirinya sendiri. Dan pacarnya pun harus mencintainya pula. Nanti kalau kamu sudah matang, biasanya cinta itu akan menjadi cinta yang melebar atau meluas.”

Mas Noe juga menyinggung tentang pergulatan anak-anak muda yang katanya mencari Tuhan. “Saya tidak menyalahkan pendapat seperti itu. Tetapi kalau saya bukan mencari Tuhan, tetapi berusaha menyadari keberadaan-Nya dalam setiap keadaan,” ujar Sabrang Mowo Damar Panuluh yang menjadi Wakil Ketua Lesbumi PBNU.

Sebelum mengakhiri dialog, Mas Noe juga menjelaskan pandangannya mjengenai kebenaran.

“Kebenaran yang kalian pahami sekarang adalah kesalahan yang belum kalian temukan,” tutur Mas Noe yang dinobatkan sebagai guru besar pencak silat Pagar Nusa (PN).

Di akhir diskusi, putra budayawan Cak Nun itu kemudian didaulat menyanyikan lagu Ruang Rindu dan Sebelum Cahaya yang diikuti bersama-sama para audience. (*/ian)