Oleh: Wawan Susetya, Sastrawan-Budayawan

Artikel : Menyembelih Nafsu Kebinatangan

0

PERNAHKAH Anda membayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim ketika mendapat ar-ru’ya (mimpi) sebagai isyarat perintah Allah Swt agar menyembelih putranya (Ismail) yang sangat disayangi dan lagi lucu-lucunya?

Kalau Anda melihat dari sudut pandang kerasulan, boleh jadi Anda langsung menilai bahwa peristiwa itu merupakan biasa saja, toh Ibrahim adalah seorang Rasul yang tentu akan kuat dan tabah menjalankan perintah-Nya. Namun peristiwa itu ketika dilihat secara manusiawi (horisontal) tentu siapapun akan melelah air matanya; betapa sangat berat ujian Allah kepada Sang Kholilullah.

Begitulah “drama” peristiwa penyembelihan Ismail oleh ayahandanya yang kemudian Allah menggantinya dengan seekor domba sebagai hewan qurban. Dan, ibadah qurban setelah menunaikan Shalat Idul Adha tersebut dilaksanakan oleh Islam se-antero dunia hingga saat ini.

Peristiwa ibadah qurban yang melibatkan Nabi Ibrahim dan putranya Ismail tersebut ada yang melatar-belakangi yaitu peristiwa persembahan kepala manusia kepada thaghut (berhala-berhala) pada masa itu. Itulah sebabnya Allah kemudian men-syariat-kan amaliyah qurban dengan menyembelih hewan qurban (domba atau hewan lainnya seperti sapi, kerbau dan unta) yang dagingnya dibagi-bagikan kepada lingkungan masyarakat.

Selain itu peristiwa qurban tersebut juga memberi isyarat secara simbolik supaya manusia “menyembelih” hawa nafsunya; yakni dengan menundukkan atau mengendalikannya.

Bagaimana pun nafsu yang merupakan bagian dari manusia itu tetap memiliki manfaat yang penting dalam kehidupan, misalnya semangat dalam menjalankan ibadah atau bekerja. Itulah sebabnya hendaknya tidak membunuh hawa nafsu, tetapi mengendalikan atau menundukkan dengan cara mengarahkan ke jalan yang diridhoi Allah.

Hawa nafsu manusia dapat dibedakan dengan tabiatnya masing-masing. Dalam hal ini para Ulama Salaf mengidentifikasi tabiat hawa dan nafsu.

Hawa itu tabiatnya malas mengerjakan ibadah, sedang nafsu memiliki semangat mengerjakan maksiat.

Maka Ulama memberikan kiat atau tips cara mengendalikannya yakni dengan cara memindahkan tabiat pada hawa ke maksiat, sedang tabiat nafsu dipindahkan ke amaliyah ibadah. Maka, hawa menjadi malas melakukan maksiat, sementara nafsu menjadi bersemangat melakukan ibadah.

Para Ulama dulu juga memberikan nasihat cara mengendalikan hawa nafsu yakni dengan 4 hal, yaitu; Pertama, mengurangi makan.
Kedua, mengurangi bicara atau tidak banyak bicara.
Ketiga, mengurangi tidur di malam hari.
Keempat, memperbanyak kontemplasi di tempat yang sepi.

Kaum muslimin yang baru saja menunaikan Rukun Islam kelima pada dasarnya tengah me-napak tilas perjalanan spiritual keluarga Nabi Ibrahim (termasuk Hajar dan putranya Ismail).

Betapa dahsyatnya perjuangan si Ibu Hajar ketika mencarikan sumber air untuk putranya Ismail dengan berlarian antara Bukit Shafa dan Marwa sampai 7 kali yang sekarang diikuti para jamaah haji.

Para jamaah haji juga melakukan wuquf di Arafah sebagai kontemplasi batin dengan mengingat Allah. Mereka melakukan thawaf dengan mengelilingi Ka’bah selama 7 kali dimulai dari sisi Hajar Aswat.

Sesungguhnya hal itu merupakan suatu perlambang agar manusia selalu berbakti kepada ibunya, sebab hajar Aswat melambangkan seorang ibu.

Demikian halnya ketika mereka melempar jumroh dengan 7 kerikil yang dimaksudkan agar tidak mengikuti godaan setan yang berusaha menyesatkan manusia.

Dengan mengenakan pakaian ihram berwarna putih-putih, mereka benar-benar telah melebur dengan melepaskan premis-premis jabatan dan pangkat keduniawian. Dan dengan meneladani “Bapak Tauhid” serta “bapaknya para Nabi”, maka para jamaah haji diharapkan menjadi manusia universal yang paripurna.

Mereka, jamaah haji yang mabrur tentu sepulang dari Tanah Suci akan senantiasa memberikan kemaslahatan dalam kehidupan sehari-hari.