Oleh: Wawan Susetya*
DIUTUS-NYA para Rasul-rasul Allah di muka bumiyakni dari Nabi Adam A.S hingga Nabi Muhammad SAW memang mencerminkan utuhnya gambaran perjalanan kepribadian manusia sesuai dengan perkembangan zaman dan waktu. Jika dilihat dari perspektif yang lebih sederhana, maka pribadi-pribadi tersebut tercermin dalam falsafah Ulul Azmi (yakni Nabi dan Rasul Allah yang dikenal besar perjuangannya menghadapi umatnya): Nabi Nuh A.S melambangkan bayi atau anak kecil, Nabi Ibrahim A.S melambangkan anak remaja, Nabi Musa A.S melambangkan pemuda perkasa, Nabi Isa A.S melambangkan orang tua yang lembut, dan Nabi Muhammad SAW menjadi penyempurna kepribadian komprehensif dari semua spesialisasi watak penugasan para Rasul sebelumnya itu.
Jangankan soal-soal besar yang menyangkut risalah berskala dunia, tulis Emha Ainun Nadjib dalam (Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib, 2001), sedang dalam tugas sebagai suami di rumah tangga saja kita harus selalu siap memerankan berbagai kemungkinan sikap. Tidak dalam arti hipokrisi atau mem-bunglon. Tetapi empati pergesekan pergaulan. Kita bukan hanya seorang bapak, terkadang kita siap berlaku manja seperti anak kecil, berlaku lembut seperti isteri, berlaku sareh seperti kakek nenek, selain berlaku gagah tegas jantan sebagai suami.
Demikian juga isteri: kalau suami sedang bete (bosan), jadilah ibu yang menampung keluhannya dengan keluasan dan kelembutan. Ketika di ranjang, jadilah anak kecil yang manja dan penuh sendau gurau, tapi siap juga nantinya menjadi perempuan. Kalau pas mengunjungi suami di kantor yang sedang pusing oleh dollar naik, jangan ganggu dengan perilaku bayi. Dan banyak kemungkinan lagi, urai Cak Nun.
Pertama, Nabi Nuh melambangkan kepribadian bayi atau anak kecil; yakni A tercermin dari sikap Nuh A.S dalam menghadapi umatnya yang bengal dengan sering mengadukan kepada Tuhannya. Sebagaimana bayi atau anak kecil kepada ibunya, tentu lebih banyak menangis dan bersikap manja; segala sesuatu minta diurusi oleh sang ibu.
Apalagi, saat Nuh A.S berdakwah kepada kaumnya selama 950 tahun lebih banyak mendapat cercaan, hinaan, cacian, olok-olok yang tentu menyakitkan. Meski telah ratusan berdakwah, kenyataannya hanya beberapa gelintir orang saja yang mau patuh kepadanya. Maka, diadukanlah kaumnya tadi kepada Tuhannya agar diberi adzab (siksa) yang mengerikan.
Bukankah kepribadian anak kecil kepada sang ibu juga demikian jika dirinya diganggu oleh temannya yang nakal?
Permohonan doa Nuh kepada Allah ternyata benar-benar dikabulkan, yakni dengan mengirim banjir besar sebagai adzab kepada orang-orang yang ingkar. Sedangkan, Nuh beserta kaumnya yang setia (orang-orang beriman) diselamatkan Allah dalam bahtera (perahu besar).
Pada saat itulah, Nabi Nuh sempat membujuk isteri dan anaknya (Kanan) agar mau bergabung ke dalam bahtera yang akan menyelamatkan. Namun, Kanan menolak. Sebab, dia akan menuju pergi ke puncak gunung yang menurutnya akan menyelamatkannya. Kenyataannya tidak ada yang menyelamatkan kecuali pertolongan Allah.
Wacana di atas juga merupakan simbolisasi (perlambang) betapa Nuh sangat menginginkan agar kaumnya mau naik atau masuk ke dalam perahu: maknanya jalan menuju Tuhan yang menyelamatkan. Namun, Kanananak Nuh a.slebih memilih gunung: maknanya adalah materi atau bersifat duniawi, seperti tiga ta (harta, tahta dan wanita). Bukankah kecenderungan orang-orang sekarang seperti tabiat Kanan yang lebih menomorsatukan atau menuhankan pada materi?
Kedua, Nabi Ibrahim A.S (Kholilullah) melambangkan anak remaja yang sedang mencari jati diri (identitas diri). Kisah diusirnya Nabi Ibrahim (remaja) oleh ayahnya di hutankarena khawatir akan dibunuh oleh Raja Namrud yang lalimternyata menumbuhkan tekadnya untuk mencari Tuhan. Ketika dilihatnya bintang, bulan dan matahari dikiranya Tuhan. Ternyata bukan, lantaran bintang dan bulan yang muncul di waktu malam akan tenggelam pada siang hari, begitu pula dengan matahari yang bersinar di siang hari akan tenggelam pada malamnya. Maka, Ibrahim menemukan Tuhannya dalam hati: yakni Tuhan pencipta alam semesta (Rabbul alamien).
Itulah hanief: yakni kecenderungan dalam bertauhid (menomorsatukan = meng-Esakan) Allah secara fitrah. Oleh karenanya, Nabi Ibrahim mendapat sebutan bapak tauhid, lantaran besarnya keyakinan dan keimanan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dan, begitulah Allah membimbing dan memberikan petunjuk kepada hamba-Nya yang bersungguh-sungguh mencari dan berusaha menemukan-Nya dalam keyakinannya.
Itulah sebabnya kepribadian Ibrahim persis seperti anak remaja yang sedang mencari jati dirinya (identitas diri); misalnya mereka yang mempersiapkan atau merintis cita-citanya. Ada yang ingin menjadi dokter, pegawai negeri, menteri, polisi, dan sebagainya.
Ketiga, Nabi Musa A.S melambangkan pemuda perkasa karena berani melawan Raja Firaun beserta bala tentaranya yang tangguh. Keberanian Musa (Kalamullah) itu tidak lain karena memperjuangkan atau dilandasi sebuah nilai kebenaran (al haq): yakni membela kaum Bani Israil yang terbelenggu dalam kungkungan kekuasaan Firaun.
Rata-rata watak pemuda, biasanya memang demikian. Sebagaimana Musa yang mempunyai landasan kebenaran, apapun ditempuhnya meski menghadapi resiko yang besar sekali. Keperkasaan Musa dengan dibantu saudaranya (Nabi Harun A.S) benar-benar teruji dalam sejarah. Musa melambangkan seorang pangeran (Raja)yang mencerminkan gerakan politik di level atas, sedangkan Harun adalah figur dan simbolisasi perjuangan lapisan bawah (grass root).
Nabi Musa beserta pengikutnya dikejar-kejar pasukan yang dipimpin Haman hingga samapi di depan Laut Merah. Pada saat itulah muncul mukjizat yang diberikan Allah kepada Musa, yakni dengan memukulkan tongkatnya ke lautan sehingga lautan tadi menjadi terbelah dan terdapat jalan panjang di atas lautan. Maka, Musa beserta kaum Bani Israil melewati jalan tadi hingga di seberang lautan.
Sesampai di seberang lautan, giliran pasukan Firaun dan Haman yang ikut-ikutan menyeberang di atas jalan yang membelah lautan tadi. Maka, tenggelamlah para musuh Musa dan Harun tadi termasuk Raja F iraun di dalam lautan itu. Bahkan, hingga kini jasad Firaun masih diawetkan sebagai bukti kebenaran sejarah.
Keempat, Nabi Isa A.S melambangkan orang tua yang lembut; lantaran sikapnya yang santun, sareh, menebarkan kedamaian, dan cinta kasih (al hubb) kepada kaumnya. Isa dikenal sebagai orang yang paling miskin di antara nabi-nabi Allah.
Meski demikian, ada mukjizat luar biasa yang dikaruniakan Allah kepadanya: di antaranya bisa menyembuhkan orang sakit dan sakit mata serta menghidupkan orang yang sudah mati atas izin Allah, dikaruiai Kitab Injil, bisa berbicara sejak dalam ayunan ibunya (Maryam), dan sebagainya.
Bahwa Isa diberi mujizat atau keistimewaan, itu semata-mata karena merupakan kekuasaan Allah sebagaimana Allah pun juga memberikan mujizat kepada utusan-Nya yang lain.
Kelima, Nabi Muhammad Saw menjadi penyempurna kepribadian komprehensif dari semua spesialisasi watak para Rasul-rasul Allah itu. Artinya, Kanjeng Nabi SAW mempunyai tugas untuk mengajarkan kepada kaumnya bagaimana bersikap ketika memiliki kepribadian bayi atau anak kecil seperti Nuh A.S, kepribadian remaja seperti Ibrahim A.S,kepribadian pemuda perkasa seperti Musa, dan kepribadian orang tua yang lembut seperti Isa A.S. Atau lebih spesifik lagi, bagaimana Rasulullah SAW menciptakan formula manajemen untuk mengolah keseimbangan antara kebenaran (al haq) dan cinta (al hubb). Dan, perpaduan antara kebenaran dengan kebaikan (cinta) adalah keindahan yang dibawa Muhammad SAW.
Tebarkan Salam, Produk Cinta Kasih Muhammad
Rasulullah Saw bersabda: Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya. Demi Allah. Kamu tidak akan masuk surga sehingga kamu beriman, dan kamu akan beriman sehinga kamu saling cinta kasih. Maukah kamu saya tunjukkan kepada sesuatu yang jika kamu kerjakan maka kamu saling bercinta kasih? Tebarkanlah salam di antara kamu. (Dari Abu Hurairah r.a diriwayatkan Muslim).
Inti hadits di atas adalah pentingnya menebarkan salam dalam Islam; yang berbunyi Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokatuh (artinya: semoga Allah melimpahkan kesejahteraan, rahmat dan barokah kepadamu). Terkadang, karena sudah menjadi kebiasaan, ucapan salam tadi hanya diucapkan saja oleh kaum muslimin dalam kehiduapn sehari-hari, sehingga tidak menghunjam makna yang mendalam dari salam tersebut. Padahal, di dalamnya terdapat tiga doa penting kepada yang diberikan salam; yakni salam (kesejahteraan), rahmat (kebaikan) dan barokah (tetapnya kebaikan atau bertambahnya kebaikan).
Pertama, salam; yakni orang muslim yang mendoakan agar engkau (pihak kedua) diberi kesejahteraan, lahir maupun batin.
Kedua, rahmat; yakni orang muslim yang mendoakan agar engkau (pihak kedua) diberi rahmat (kebaikan, kemurahan, kasih sayang Allah). Rahmat juga berarti ukuran seberapa jauh kita mempunyai kepedulian, empati atau ikut merasakan beban penderitaan orang lain.
Ketiga, barokah; yakni orang muslim yang mendoakan agar engkau (pihak kedua) diberi kebarokahan (tetapnya atau bertambahnya kebaikan). Secara luas, barokah ada tiga; barokah pada person (pribadi, seseorang), sehingga orang yang melihat wajahnya langsung mengingat Allah Swt; barokah pada makanan; dan barokah pada tempat (rumah yang dipakai belajar al-Quran, masjid, madrasah, dan sebagainya).
Untuk mewujudkan makna salam tersebut, dalam kesehariannya Rasulullah Saw senantiasa menebarkan kasih sayangnyasebagai manifestasi cintanyakepada orang-orang miskin, anak-anak yatim piatu, dan para sahabatnya yang juga sangat sederhana. Itulah produk cinta Nabi SAW. Ketika Rasul sedang bersama para sahabat atau orang-orang miskin, jika ada tamu yang mencari Nabi SAW, mereka pun tak tahu bahwa Nabi SAW yang sedang mereka cari ada di antara mereka. Kadang-kadang terlihat Beliau menjahit bajunya sendiri. Bahkan, Rasul pun juga memperbaiki sandal anak yatim piatu dengan tangannya sendiri. Tak ayal bila Rasulullah dikenal sebagai pembela kaum mustadh afin (orang-orang tertindas).
Dalam Islam, Allah Swt begitu menandaskan pentingnya silaturahmi (menyambung kasih sayang) di antara umat-Nya, karena silaturahmi merupakan perintah Allah yang kedua setelah takwa (QS. 4: 1). Begitu pentingnya silaturahmi, Rasulullah pun menyatakan tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahmi.
Menurut Prof. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam Alternatif, membela fakir miskin adalah melanjutkan tugas Rasul dalam membuang beban-beban (penderitaan) dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Bahkan, kata Nabi Saw, kepada isternyaAisyah r.aRasulullah pernah mengatakan agar ia mencintai orang miskin dan berakrab dengan mereka, supaya Allah pun akrab juga dengan Aisyah pada hari kiamat.
Begitulah, Nabi Saw dalam keseharian selalu memberikan tauladannya mencintai orang-orang miskin. Bahkan, Muhammad telah terbuka lebar menyatakan bahwa kunci surga ialah mencintai orang-orang miskin.
Kang Jalaldemikian panggilan akrab Jalaluddin Rakhmatmenandaskan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan adalah tanggung jawab bersama. Apa saja yang dilakukan Muhammad kepada orang-orang miskin?
Pertama, menolong dan membela yang orang-orang yang lemah (mustadhafin) merupakan tanda-tanda orang yang takwa.
Kedua, mengabaikan nasib mustadhafin, acuh tak acuh terhadap mereka, enggan memberikan pertolongan, akan menyebabkan pendusta agama, dan salatnya akan membawa kecelakaan, menjerumuskannya ke neraka Saqar, imannya tidak ada atau kosong; sebagaimana sabda Nabi: (Tidak beriman kepadaku yang tidur kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya.) dan tidak dihitung sebagai orang muslim (Barangsiapa tidak mau memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk kelompok mereka).
Ketiga, membela nasib mustadhafin merupakan amal utama yang mendapat pahala yang lebih besar daripada ibadah-ibadah sunnah. Nabi Saw telah menyatakan bahwa orang yang bekerja keras untuk membantu janda dan orang miskin adalah seperti pejuang di jalan Tuhan atau seperti yang terus-menerus shalat malam atau terus-menerus puasa.
Ucapan salampinjam istilah Abdullah Gymnastiaryang berisi tiga hal penting tersebut berbeda jauh dengan ucapan salam di Indonesia pada umumnya, seperti selamat pagi atau good morning; selamat siang atau good afternoon; selamat sore atau good evening dan seterusnya. Sebab, salam seperti itu lebih mengarah pada sapaan saja, sedangkan salam dalam Islam mengandung suatu doa yang diberikan kepada lawan bicara.
Betapa jauhnya!
Ketika bertemu dengan keluarga, sahabat, dan tamu pun, Rasulullah SAW selalu membiasakan dengan tersenyum tulus. Apalagi, senyumnya yang tulus tadi juga ditambah lagi dengan ekspresi wajah yang cerah nan indah. Dengan demikian, para sahabat, keluarga, dan kaum muslimin pun merasakan kehangatan dekat bersama Nabi Saw.
Senyum Rasulullah seperti itu, jelas berbeda jauh dengan senyum yang menyakitkan; yakni senyum sinis yang bernada ejekan. Orang yang hati mendongkol kepada orang lain, misalnya, ia terkadang mengeluarkan senyuman sinisnya dengan maksud mensyukuri kegagalan atau kejatuhan orang lain.
Atau dalam Bahasa Jawa-nya: nyukurne(merasa senang dengan kegagalan atau penderitaan orang lain).
Senyuman yang menggoda lain lagi, entah senyuman cowok kepada seorang cewek yang ditaksirnya ataukah sebaliknya. Atau bisa juga senyuman menggoda tadi dimaksudkan untuk melancarkan bisnisnya atau untuk menggolkan tujuan bisnisnya; seperti senyumnya para sales girl kepada sasarannya dan sebagainya.
Harus kita hindarkan pula adalah sikap berat senyum, sehingga mengesankan seperti orang yang berwajah angker, selalu cemberut, terlihat sinis dan ketus. Orang yang modelnya seperti ini, barangkali melihat wajahnya saja, kita sudah berpikir bagaimana menjauhinya, meskipun ia cantik atau ganteng. Apalagi jika bergaul dengan orang seperti ini, tentu malah terasa tersiksa karenanya.
Oleh karena itu, kaum muslimin hendaknya meneladani senyum Rasulullah yang penuh ketulusan. Boleh dikata juga sebagai senyum yang proporsional; yakni biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai kemuliaan, kearifan dan kematangan pribadi. Sebaliknya, senyum yang tidak proporsional biasanya dimiliki oleh orang-orang yang mengikuti hawa nafsu (KH Abdullah Gymnastiar: 5 S Kiat Membentuk Pribadi Menawan, 2005).
Yang menarik lagi dari Rasulullah Saw dalam kesehariannya yang senantiasa terlihat cerah. Muhammad memang menyarankan agar para sahabatnya tidak terlalu membebani jiwanya dengan berat. Meski begitu hendaknya tetap menjaga dengan kesungguhan hati. Menghibur diri dengan hal-hal yang ringan dan lucu. Sebab, bila hati terus dipaksakan dengan memikul beban-beban yang berat, ia akan menjadi kelelahan.
Begitulah Muhammad yang sederhana, tapi selalu memberikan contoh dalam kesehariannya dengan ekspresi wajah yang cerah dan menyenangkan kepada orang lain. Demikianlah penampilan tutur kata Rasulullah yang lemah-lembut tapi tegas dengan wajah cerah-ceria dan jernih, sehingga jauh dari mengesankan wajah yang cemberut, angkuh dan masam yang menyebabkan orang lain tidak senang.
Selain dekat dengan orang-orang miskin, Muhammad juga dekat dengan anak-anak yatim piatu. Bahkan, Muhammad pernah menasihati kepada Abu Hurairah r.a agar memberi makan kepada orang-orang miskin dan mengusap kepala anak-anak yatim agar bisa melembutkan hatinya yang keras.
Abdul Hadi Bin Hasan Wahbi dalam Menuju Kesucian Hati menjelaskan, kekerasan yang terjadi pada hati (kalbu) merupakan efek dari perbuatan maksiat, sekaligus merupakan faktor penunjuk dari sikap enggan tunduk dan merendah kepada Allah meski keadaannya lapang sekalipun. Dan orang-orang yang tidak mau tunduk merendah kepada Allah Swtapalagi dalam keadaan sempitmaka kalbunya akan makin mengeras, padahal kerasnya kalbu merupakan lampu merah dari kebinasaan. Sesungguhnya kalbu yang sangat jauh dari Allah adalah kalbu yang keras. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban seluruh muslim untuk berdoa dengan sikap tunduk merendahkan diri kepada-Nya dalam segala keadaan, dalam keadaan sulit maupun lapang, di kala senang apalagi di kala susah.
Itulah sebabnya, Rasulullah Saw senantiasa mengajak kepada kaumnya untuk membersihkan dan menentramkan hati mereka dengan senantiasa mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya karena mengambil manfaat dari kandungan kitab suci sebagaimana firman Allah: Dan beri kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (Yaitu) orang-orang yang gemetar hatinya apabila disebut nama Allah, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan shalat, dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rizkikan kepada mereka. (QS Al-Hajj: 34-35).
Dari ayat di atas, Allah Swt menyebutkan empat ciri kalbu orang-orang yang tunduk merendah; Pertama, gemetar kalbunya ketika disebutkan nama-Nya. Kedua, sabar atas segala ketentuan-Nya. Ketiga, mendirikan shalat lengkap dengan rukun-rukunnya, baik lahir maupun batin. Keempat, bersikap baik kepada sesama hamba-Nya dengan menafkahkan sebagian dari harta yang diberikan Allah kepadanya. *Penulis adalah sastrawan-budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung.
*Penulis adalah sastrawan-budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung.
o0o