Mengapa Kita (Harus) Menulis?

0

Oleh: Wawan Susetya*

BAHWA menulis itu sangat penting, barangkali telah kita dengar berulangkali. Tetapi kenyataannya masih banyak orang yang belum mau memahami, apalagi memiliki kesadaran dalam diri mereka, bahwa menulis itu sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.

Jangankan para karyawan, guru, mahasiswa, pejabat dan sebagainya, sedang para dosen atau tenaga kependidikan di perguruan tinggi saja masih banyak yang belum melahirkan karya tulis, apalagi berupa buku.

Boleh jadi ada orang sukses setinggi langit atau memiliki kehebatan luar biasa, tetapi jika mereka tidak pernah menulis, niscaya kesuksesan tersebut hanyalah milik mereka dan keluarganya saja.

Bandingkan, misalnya, jika mereka mau menuliskannya berupa buku how to atau kiat sukses dan seterusnya, maka mereka akan merasakan kenikmatan berbagi ilmu kepada sesama insan. Dengan demikian ilmu mereka akan menjadi lebih manfaat dalam kehidupan.

Dalam konteks ini, barangkali kita masih teringat perkataan sastrawan almarhum Pramoedya Ananta Toer: Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Benang-merah pernyataan Pramoedya Ananta Toer tersebut adalah menulis adalah bekerja untuk keabadian, sedang yang abadi itu identik dengan kehidupan akhirat.

Saya memaknai perkataan tersebut sebagai ibadah kepada Tuhan karena pada dasarnya yang bersifat abadi haruslah melalui amalan ibadah. Sehingga, menulis segala sesuatu yang memberikan kemanfaatan merupakan amalan ibadah kita kepada Tuhan.

Dan, hal itu sinkron dengan hadits Nabi Muhammad Saw bahwa pahala ilmu yang bermanfaat tidak akan putus, meski orangnya telah wafat.

Seiring dengan perkembangan zaman dewasa ini, memang sangat banyak orang yang menulis status di jejaring sosial, tetapi tentu masih sangat terbatas yang mau menulis buku.

Padahal Imam al-Ghazali yang dikenal dengan sebutan Hujjatul Islam dan telah menulis sebanyak 313 buah buku pernah mengatakan, Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.

Bagaimana pun, sesungguhnya apa yang kita tulis itu dipengaruhi oleh apa yang kita baca. Membaca (read) dan menulis (write) ibaratnya seperti dua sayap seekor burung yang saling bekerja sama.

Ia identik pula dengan dua sisi mata uang logam atau two in one yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Melalui aktivitas membaca dan menulis itu, akhirnya Hernowo Hasyim melahirkan Teori Mengingat Makna yang sangat penting dalam kegiatan menulis.

Ada dialektika yang sangat penting antara membaca dan menulis; yakni membaca sebagai input (masukan) dan menulis sebagai out put (produk tulisan). Dalam konteks ini Hernowo Hasyim menandaskan, Penulis yang baik, karena ia menjadi pembaca yang baik.

Dan, wajar pula kiranya jika Stephen King mengatakan: Membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh seorang penulis.

Menurut Dr. Ngainun Naimdosen IAIN Tulungagung dan penulis buku The Power Of Reading (2013)bahwa tanpa Anda sadari sesungguhnya membaca itu sering menghadirkan kejutan.

Banyak hal tak terduga yang muncul setelah kita memiliki kebiasaan membaca dan membaca. Bahkan, hal-hal biasa yang luput dari perhatian kita, ternyata menjadi sesuatu yang penting setelah kita mendapatkan informasi dari sebuah bacaan.

Hidup sehari-hari yang tidak banyak direnungkan ternyata bisa memiliki khazanah makna yang luar biasa. Kita baru bisa menyadarinya setelah membaca dan memahami tulisan-tulisan di buku, koran, blog, dan berbagai media lainnya.

Barangkali Anda pernah mendengar kata mantra yang merupakan kumpulan kata-kata terpilih hingga menjadi suatu kalimat yang kemudian ada yang meyakini memiliki kekuatan atau energi tertentu, bahkan dapat dipergunakan sebagai metoda penyembuhan, penolak bala, mengusir dari gangguan jin jahat atau setan, dan seterusnya.

Begitulah kenyataan yang terjadi di masyarakat kita yang berhubungan dengan kata mantra, terlepas Anda mempercayai atau tidak. Yang jelas, pilihan kata-kata yang baik itu memiliki suatu energi positif, sebaliknya kata-kata kotor atau jorok akan mendatangkan energi negatif.

Tentu, yang musti kita lakukan ketika menulis yaitu menulis secara totalitas, menulis dengan hati, dan menulis dengan merdeka. Mengapa? Menulis, sebagaimana kata Stephen King, adalah mencipta.

Padahal dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya semua pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan nafas hidupnya. Dengan demikian, menulis tidak sekedar identik dengan berpikir, tetapi juga mencipta atau berkarya yang membutuhkan kesungguhan dan keseriusan.

Sejak tahun 2003 atau tepatnya setelah saya menikah, saya menerjuni dunia tulis-menulis yaitu menulis buku. Dan alhamdulillah sampai sekarang saya telah menghasilkan 82 buku yang diterbitkan penerbit nasional, sedang 8 buku di antaranya diterbitkan oleh PTS Millenia Sdn Bhd Malaysia yang peredarannya ke beberapa negara kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darusalam, Filiphina, dan sebagainya.

Terus-terang dalam tulis-menulis ini saya menggunakan Teori Kontekstual yang saya serap dari kepiawaian budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun).

Artinya, saya berusaha mengontekstualkan atau menghubungkan suatu permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dengan merujuk suatu teori besar (induk) melalui kitab suci al-Quran dan khasanah budaya Jawa yang saya geluti.

Itulah sebabnya, saya di berbagai kesempatan entah di hadapan para mahasiswa, para guru, para pegawai kantoran, para seniman dan sastrawan, para siswa dan seterusnya selalu mengajak untuk menulis dan menulis.

Kalau, misalnya, Anda kurang menyukai menulis genre buku non fiksi atau fiksi, setidaknya Anda dapat menulis mengenai apa kegiatan atau aktivitas Anda sehari-hari.

Barangkali Anda adalah seniman, aktivis LSM, pengacara, perawat atau dokter, petani, pedagang, guru, karyawan, dan seterusnya maka Anda dapat menulis mengenai pengalaman Anda yang menarik.

Itulah yang disebut dengan local genius; yakni kita menulis mengenai sesuatu yang apa yang kita geluti dalam kehidupan sehari-hari.

Setidaknya, dalam jagad perbukuan kita telah menghadirkan hal baru seperti novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang merupakan genre baru dalam perbukuan, yaitu genre fiksi otobiografi.

Sebelum terlambat dan waktu Anda terbuang sia-sia, maka mulailah menulis dari yang terkecil menyangkut pengalaman hidup Anda yang menarik.

Atau, tuliskan apa yang menarik di sekitar Anda. Setidaknya Anda dapat menulis apa yang Anda sukai dan apa yang Anda kuasai.

* Penulis adalah budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung.