Super Blue Blood Moon dan Gerhana Bulan

Oleh: Wawan Susetya*

0

AKHIR bulan Januari 2018, tepatnya tanggal 31, BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) telah merilis akan adanya fenomena alam yang sangat langka, yakni Super Blue Blood Moon yang kemudian diikuti peristiwa gerhana bulan total terlama abad ini. Hanya saja, karena bulan Januari sekarang ini masih musim penghujan, bahkan ada ungkapan “Januari: hujan sehari-hari”, hendaknya tetap waspada akan terjadinya hujan lebat serta angin kencang di sebagian wilayah Indonesia.

Fenomena alam dengan apa yang disebut Super Blue Blood Moon atau disebut pula Supermoon, lantaran posisi bulan pada saat gerhana bulan total itu akan bertepatan dengan momen bulan mencapai titik perigee atau jaraknya sangat dekat dengan bumi, yakni sekitar 360.000 km dari bumi. Dengan demikian pemandangan Supermoon akan tampak lebih besar dari bulan purnama biasanya.

Menurut keterangan dari LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) bahwa peristiwa langka munculnya Super Blue Blood Moon atau Supermoon seperti ini terjadi saat bulan berada dalam konfigurasi Supermoon dan blue moon yang pernah terjadi 152 tahun lalu. Tepatnya tanggal 31 Maret 1866. Karena posisi bulan berada paling dekat dengan bumi, sehingga ukuran bulan menjadi lebih terang 15 persen lebih besar dan 30 persen lebih terang daripada biasanya.

Berdasarkan informasi BMKG bahwa durasi total untuk bisa melihat gerhana bulan total pada malam ini sekitar 1 jam 16 menit. Gerhana bulan dimulai sekitar pukul 19.51 Wib sampai 21.07 Wib.

Peristiwa Gerhana
Ada dua macam peristiwa gerhana, yakni gerhana matahari dan gerhana bulan. Gerhana matahari dan gerhana bulan adalah peristiwa alam yang merupakan tanda-tanda kebesaran Tuhan. Oleh sebab itu, ketika terjadi gerhana—entah gerhana matahari atau bulan—disunnahkan melaksanakan shalat dua rekaat masing-masing dengan empat kali rukuk. Shalat sunnah dua rekaat ketika terjadi gerhana matahari disebut shalat khusuf, sedangkan pada gerhana bulan disebut shalat kusuf. Biasanya, shalat sunnah—baik shalat khusuf dan shalat kusuf—dilaksanakan secara berjamaah di masjid. Begitulah yang diajarkan Nabi Saw kepada kaumnya.

Ketika terjadi peristiwa gerhana matahari, Rasulullah Saw lalu bangkit dengan rasa khawatir—kalau-kalau terjadi kiamat. Nabi Saw kemudian pergi ke masjid dan mengerjakan shalat dengan memanjangkan berdirinya, ruku’ dan sujudnya.

Nabi Muhammad Saw bersabda: “Ini adalah tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang dikirimkan Allah, bukan karena matinya atau hidupnya seseorang, melainkan dengan gerhana itu, Allah bermaksud akan mempertakuti hamba-hamba-Nya. Jika kamu melihat gerhana itu, maka bersegeralah untuk melakukan dzikir, doa dan istighfar.” (HR Bukhari).  

Demikianlah sabda Baginda Rasul bahwa dengan adanya gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan, kaum muslimin disunnahkan mengerjakan shalat sunnah (khusuf dan kusuf) di masjid secara berjamaah seraya memperbanyak dzikir, doa dan memohon ampun (istighfar).

Rambu-Rambu Rasul tentang Gerhana
Dulu, pada pemerintahan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, tepatnya tanggal 11 Juni 1983 pernah terjadi gerhana matahari total di Indonesia. Selain itu masih ada lagi peristiwa gerhana matahari tidak total di zaman Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), sehingga hanya bisa dilihat di sebagian wilayah Indonesia saja.

Selanjutnya pada pemerintahan Presiden Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) pernah pula terjadi dua kali gerhana bulan, yakni tahun 2000 dan 2001.

Itulah fenomena atau peristiwa alam. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad Saw di atas bahwa gerhana matahari dan gerhana bulan itu merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. Tanda-tanda berarti ayat, sedang ayat yang dimaksud adalah ayat kauniyah (ayat alam). Bagaimana pun yang namanya ayat musti dibaca, tentu bagi hamba Allah yang dikaruniai-Nya kemampuan untuk membacanya.

Ayat-ayat Allah itu sesungguhnya ada tiga, yakni;

Pertama, ayat tertulis, yaitu kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt kepada para Rasul, di antaranya Kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s, Kitab Zabur kepada Nabi Daud a.s, Kitab Injil kepada Nabi Isa a.s, dan Kitab al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw.

Kedua, ayat alam (kauniyah), yakni ada dua macam, 1) mengenai alam itu sendiri, seperti bumi, matahari, bulan, bintang, langit, binatang, pepohonan, dan sebagainya; 2) mengenai tokoh sejarah, entah tokoh yang memiliki sifat protagonis (baik) maupun antagonis (jahat) sejak zaman dulu sampai yang akan datang. Misalnya, para Nabi/Rasul, para sahabat, para pemimpin dunia yang hebat-hebat dan sebagainya. Ada pula tokoh dunia yang jahat, seperti Raja Namrud di zaman Nabi Ibrahim, Raja Fir’aun di zaman Nabi Musa, kaum Jahiliyah Makkah di zaman Nabi Muhammad Saw, dan seterusnya.

Ketiga, ayat hati atau nurahi (sirrullah). Dalam hal ini hanya hamba-hamba Allah yang telah mukasyafah (tersingkap hijab) atau telah makrifat saja yang mendapatkan nurullah (cahaya-Nya).

Dari ketiga macam ayat di atas, semuanya saling melengkapi dan tidak saling berbenturan. Misalnya, para ilmuwan (scientis) yang telah melakukan penelitian mengenai fenomena alam, anatomi tubuh, kesehatan manusia, dan sebagainya tentu akan sinkron dengan apa yang telah diinformasikan Allah Swt melalui al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad Saw. Mengapa Allah Swt mengharamkan makan daging babi, bangkai (kecuali bangkai ikan), darah, dan binatang yang disembelih bukan atas nama-Nya, ternyata setelah diteliti hal itu mengandung kemudharatan atau sangat berbahaya bagi manusia.

Belum lama ini misalnya di Negeri Tiongkok digemparkan ada seorang anak yang otaknya (di kepala) dijadikan sarang binatang parasit yang membahayakan. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata si anak tadi memiliki kebiasaan makan daging katak. Padahal, dalam Agama Islam, katak atau binatang yang hidup di dua alam (di darat maupun di air) itu hukumnya haram.

Demikian halnya mengapa di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa minuman khamr (beralkohol, minuman keras) termasuk NARKOBA dan sebagainya haram hukumnya?! Semua itu ternyata memiliki dampak buruk bagi orang yang meminumnya atau mengonsumsinya. Itulah petunjuk agama yang bila diikuti akan membawanya ke jalan yang lurus.

Memaknai Gerhana
Bagaimana menjelaskan mengenai peristiwa alam atau fenomena alam yang disebut gerhana matahari dan gerhana bulan?

Peristiwa gerhana matahari terjadi pada siang hari; yakni ketika cahaya matahari yang mestinya ke bumi, tetapi terhalang oleh bulan. Karena bulan menutupi cahaya atau sinar matahari, maka bulan pun menjadi gelap. Dan, bumi pun menjadi gelap pula.

Sebaliknya, dalam peristiwa gerhana bulan, cahaya atau sinar matahari yang mestinya memantul ke bulan ditutupi oleh bumi, sehingga bulan dan bumi menjadi gelap.

Menurut budayawan Emha Ainun Nadjib dalam Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib (Wawan Susetya dkk, 2001) bahwa matahari adalah lambang rahmat Tuhan, bulan adalah pemimpin) sebagai pemantul anugerah ke bumi, sedang bumi adalah rakyat.

Gerhana matahari tatkala bulan menutupi cahaya matahari, sehingga tak sampai ke bumi. Pemerintah atau pemimpin yang tidak sanggup atau sengaja memandulkan proses manajemen kesejahteraan rakyat adalah ‘pemerintahan gerhana matahari’. Cahaya matahari rahmat Tuhan yang semestinya disalurkan ke bumi, malah diambil sendiri melalui mekanisme korupsi, kolusi dan nepotisme.

Begitulah, dalam tafsir spiritual, matahari melambangkan rahmat Tuhan, sedangkan rembulan melambangkan para Rasul dan Nabi Allah, pemimpin atau pemerintah, ulama, umara’ dan sebagainya, sedang bumi adalah rakyat.

Dalam hidup kita ini memang seringkali mengalami dialektika gerhana.  “Kalau pemerintah ngawur, rakyat akhirnya ngawur juga. Semakin ngawur pemerintah, semakin ngawur pula rakyat. Dan kalau rakyat semakin ngawur, maka pemerintah juga akan tidak terlalu tampak kalau meneruskan ngawurnya. Demikianlah dialektika penghancuran diri bangsa Indonesia. Karena lapar, rakyat ngamuk. Dan karena ngamuk, rakyat kita menjadi semakin lapar. Karena semakin lapar, rakyat kita pun semakin mengamuk,” kata Cak Nun memberikan ilustrasi.

Itulah gerhana rembulan; yakni sinar matahari ke bulan terhalang oleh bumi. Artinya rakyat bergolak, sehingga menjadi gelap mata dan hatinya. Mengapa rakyat menjadi gelap, ya karena gelapnya para pemimpin mereka. Dan, setiap terjadinya gerhana, baik gerhana matahari ataupun gerhana bulan, tentu saja akan mengakibatkan bumi (rakyat) menjadi gelap. Semakin terjadinya ancaman kegelapan, berarti mengisyaratkan semakin berjaraknya dengan kebenaran yang berujung kepada Tuhan.

Dalam dua peristiwa gerhana tersebut, jelas-jelas menunjukkan adanya perubahan yang terjadi dalam perputaran ‘roda alam’ dalam silih bergantinya siang dan malam melalui tarian ritmis bumi dan bulan mengelilingi matahari. Dalam fenomena gerhana tersebut, bisa jadi, karena matahari, bumi dan rembulan menangkap adanya perubahan perilaku manusia secara kolektif yang menyimpang, misalnya korupsi merajalela, menyimpang dalam berpolitik, peristiwa a-susila di mana-mana, dan sebagainya. Kalau manusia di muka bumi berjalan secara normatif dan alamiah, mereka pun juga tidak akan bermacam-macam.

Seluruh isi jagad raya atau alam yang tergelar ini pada dasarnya telah ‘tunduk patuh’ telah ber-‘Islam’; karena secara istiqamah terus bertasbih kepada Allah seraya menjalankan sunnatullah-Nya. Bukankah diciptakan-Nya alam semesta ini untuk manusia? Makanya, karena ada getaran, hawa, bion ruhaniah, dan sebagainya hal tersebut menyebabkan pergeseran dan perubahan pada alam semesta yang diwujudkan dalam peristiwa gerhana.

Dalam peristiwa gerhana bulan, sinar matahari yang mestinya memantul ke bulan ditutupi oleh bumi, sehingga bulan dan bumi menjadi gelap. Rakyat pun ternyata juga terdorong untuk menutupi cahaya Tuhan. Kegelapan adalah sesuatu yang seharusnya memancar, tapi tidak memancar. Seharusnya informasi, tapi menjadi dis-informasi atau hoax. Cahaya yang memancar tidak kita perhatikan, yang kita kejar-kejar dengan kamera dan pena kita adalah kegelapan, kerusuhan, pernyataan yang menyakitkan, statemen yang mengadu-domba, peristiwa kebodohan, momen-momen pertengkaran dan sebagainya.

Karena pemimpin tidak memantulkan kebenaran, rakyat bergolak. Akhirnya menyebabkan kegelapan itu sendiri. Kegelapan maknanya kebingungan, sedangkan orang yang bingung tidak mengetahui arah; mana utara-selatan dan timur-barat. Orang yang kegelapan, bahkan, tidak bisa membedakan mana isteri maupun pembantu, mana madu maupun racun, bahkan telanjang pun tidak malu.

Cak Nun menambahkan, “Bahkan, kita kerap bikin hiasan-hiasan budaya, lipstik hukum, dan lagu pop politik, yang tidak mengakar di tanah kenyataan hidup kita ini, sehingga gerhana-lah rembulan, gerhana matahari, kemudian gelaplah kehidupan. Kita biayai pekerjaan-pekerjaan besar untuk memboros-boroskan rahmat Allah, melalui manajemen pembangunan yang tidak menomorsatukan rakyat, sehingga gerhana-lah, gerhana-lah…….”

Bahkan, kata Emha, kita kerap selenggarakan kompetisi merampok rahmat Tuhan, kolusi untuk memonopoli anugerah, pencurian dan perampokan diam-diam atau terang-terangan atas kekayaan Allah yang sesungguhnya merupakan hak seluruh rakyat negeri ini. *Penulis adalah budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung-Jatim.