Kepemimpinan dan Permasalahan Korupsi

0

Oleh: Wawan Susetya*

MENYERUAKNYA berbagai kasus korupsi di negeri kita, yang terbaru mega-korupsi E-Ktp yang mencapai 49 persen dari total proyek sekitar Rp 5.9 T, benar-benar menunjukkan telah sempurna keadaan negeri kita. Sempurna dalam arti kebobrokan dan kerusakan moral para pemimpin kita yang telah melakukan aksi bancakan (bagi-bagi fee) uang negara alias uang rakyat sesuai dengan peran dan kepentingan masing-masing pihak.

Meski telah ada lembaga super body, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), namun mereka tetap nekad menempuh praktik korupsi; suatu kejahatan luar biasa yang jauh dari sekedar aksi para copet, maling, pencuri, garong, atau brandhal (perampok). Mereka bisa jadi telah mematahkan semangat rakyat bahwa bangsa kita, Bangsa Nusantara, sesungguhnya memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi mercusuar dunia.

Semua itu jelas menjadikan keprihatinan bagi orang-orang waras yang masih memiliki kepedulian kepada bangsa dan negaranya.

Keprihatinan Mengapa Korupsi
Dalam ranah hukum, ketika seorang koruptor diam-diam mengembalikan uang yang telah dikorupsinya kepada negara—dalam hal ini bisa dikembalikan ke KPK—maka dia bisa dibebaskan dari sangkaan korupsi. Atau setidak-tidaknya dia akan mendapatkan keringanan dari hukuman yang semestinya dijalani.

Begitulah perspektif hukum yang dalam dimensi kehidupan sesungguhnya masuk kategori paling rendah. Di atas hukum, menurut budayawan Emha Ainun Nadjib, masih ada akhlak dan takwa. Misalnya, ketika Anda keluar dari masjid jami’ sehabis Shalat Jumat, di luar masjid nampak para ibu pengemis duduk berjajar meminta-minta. Di antara mereka, bahkan ada yang menggendong anak kecil.

Ketika Anda terus berjalan dan acuh tak acuh melewati barisan para pengemis itu dan sama sekali tak merogoh uang kocek di saku Anda, tentu Anda akan terbebas dari masalah hukum. Sebab tak ada pasal KUHP yang menyebabkan Anda ditangkap karena bersalah gara-gara Anda tak memberikan sebagian rizki Anda kepada para pengemis itu. Demikian halnya ketika Anda membiarkan saat melihat ada seorang anak kecil yang tergelak di pinggir jalan karena kelaparan, lalu Anda pergi begitu saja.

Tetapi, dalam sudut pandang akhlak, Anda akan dipersalahkan. Tindakan Anda yang melenggang ketika melewati barisan ibu-ibu pengemis yang kelaparan di luar masjid jami’, mengisyaratkan kadar akhlak-moral Anda sangat rendah. Hal itu juga menunjukkan integritas kemanusiaan dan rasa keagamaan Anda sangat dipertanyakan. Apalagi bila dipandang dari sudut pandang takwa, Anda boleh jadi dipandang bukan sebagai manusia!

Bila berdasarkan fiqh (hukum), maka zakat umat Islam yang wajib dikeluarkan hanya 2.5 persen tiap tahun. Itu merupakan syarat minimal atau ukuran standar yang mesti dikeluarkan oleh kaum muslimin. Tetapi, sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu Utsman Bin Affan dan Umar Bin Khathab berani mengeluarkan hartanya sebesar 50 persen karena menggunakan pendekatan akhlak-moral. Terlebih dua orang sahabatnya yang lain, yakni Abu Bakar dan Ali Bin Abu Thalib lebih memilih jalan takwa. Abu Bakar berani mengeluarkan 100 persen hartanya di jalan Allah, sedang Ali Bin Abu Thalib berani menyerahkan jiwa-raganya di jalan Allah karena dia tidak memiliki harta yang berarti.

Dengan demikian, permasalahan korupsi yang mendera bangsa kita, justru setelah terbentuknya KPK, yang kita prihatinkan adalah mengapa para pejabat dan para elite politik kita itu melakukan korupsi? Tindakan mereka melakukan korupsi itulah yang kita prihatinkan dan kita sesali, bukan pengembalian uang hasil korupsi kepada negara.

Bukankah para pejabat dan para elite politik telah memiliki gaji berlimpah-ruah, sementara rakyat menjerit karena kesulitan menjalankan usaha, lalu mengapa mereka korupsi? Di mana letak rasa keadilan para pejabat dan para elite politik melihat ketimpangan sosial yang begitu tajam di masyarakat? Jadi, bukan berarti kalau sudah mengembalikan uang korupsi kepada negara, lantas permasalahan dianggap sudah selesai. Bukan! Sekali lagi, mengapa praktik korupsi harus terjadi?

Mencari Benang-Merah; Mengapa Korupsi
Disadari atau tidak, sesungguhnya bangsa kita, bangsa Nusantara kita ini pernah mengalami masa kejayaan atau masa keemasan, yakni pada abad VII dengan kemegahan Kerajaan Sriwijaya dan abad XIV dengan kebesaran Kerajaan Majapahit. Itulah sebabnya banyak para tokoh bangsa kita seperti Bung Karno, Ki Permadi, Emha Ainun Nadjib, Sudjiwo Tedjo, Agus Sunyoto dan sebagainya memiliki harapan besar bahwa bangsa kita kelak akan mengulang kembali kejayaan itu. Abad 7 ke abad 14, ada kelipatan 7 abad (700 tahun) hingga bangsa kita mengalami masa keemasan. Bila siklus 7 abad atau 700 tahun itu terulang kembali, tak menutup kemungkinan bahwa pada abad 21 (tahun 2001-2099) ini bangsa kita akan menggapai masa keemasan atau masa kejayaan lagi.

Presiden Jokowi pada pembukaan Tanwir Muhammadiyah di Ambon Maluku belum lama ini menginformasikan bahwa keadaan negara kita pada tahun 2045 atau 100 tahun Indonesia merdeka, ternyata negara kita masuk kategori 6 besar di dunia. Informasi itu didapat Presiden Jokowi dari hitungan dan analisis Menkeu Sri Mulyani mengenai keadaan negara kita tahun 2045 dengan laju pertumbuhan perekonomian seperti sekarang. Nah, bukankah tahun 2045 masuk abad 21?

Bila para pemimpin kita terus berbenah diri dengan sungguh-sungguh secara komprehensif, bukan mustahil bahwa para pemimpin kita kelak dapat mewujudkan keadaan negara yang baldatun thoyyibatun warabbun ghofur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem tur raharja. Atau, kalau menurut pandangan umum dapat menjadi mercusuar dunia. Bukankah baru-baru ini Raja Salman (Raja Arab) begitu kepincut dan kesengsem melihat dari dekat keadaan negara kita di Pulau Dewata Bali hingga membawa 1500 orang rombongan? Bahkan jadwal Raja Salman yang semula 9 hari (tanggal 1-9 Maret) ternyata masih ditambah selama 3 hari kunjungan Sang Raja di negeri kita. Jelas ini mengisyaratkan bahwa negeri kita benar-benar mempesona bagi dunia. Mengenai keindahan Bali, misalnya, ada slogan yang terkenal: “Don’t die before to Bali.”

Permasalahannya mengapa para pejabat dan para elite politik atau para pemimpin kita begitu gemar melakukan korupsi?

Sejak diproklamasikan kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 dengan dasar Pancasila dan UUD 1945 yang berbentuk republik, terlebih setelah adanya amandemen UUD 1945 mengenai Pilpres, Pilkada I dan II, Otoda, calon presiden dan wakil presiden dan sebagainya, keadaan bangsa kita memang seperti terputus dengan benang-merah sejarah masa silam kita.

Bahwa Bangsa Nusantara kita pernah mengalami masa kejayaan atau masa keemasan dengan bentuk kerajaan (Sriwijaya dan Majapahit), tetapi karena bentuk negara kita republik yang mengadopsi model Barat, maka mau tidak mau kita harus mengikuti arus dunia. Dalam mencari pemimpin, misalnya dalam Pilkada II dan I hingga Pilpres, ditambah lagi dengan Pileg (pemilihan legislatif) betapa banyaknya uang yang telah dihambur-hamburkan untuk melakukan apa yang disebut dengan pesta demokrasi. Setuju atau tidak setuju, kenyataannya praktik money politic benar-benar telah merebak sangat dahsyat di negeri kita. Wajarlah di mata rakyat banyak jargon: “Wani pira?”

Dalam logika orang awam saja sudah bisa membaca; kalau berangkatnya saja (untuk menjadi pemimpin) sudah mengeluarkan hingga milyaran rupiah, maka ketika menjadi pejabat (pemimpin) tentu akan melakukan korupsi untuk mengembalikan modal awalnya. Korupsi pun bermacam ragam, entah melalui suap, pungli, mark up proyek, tender proyek, fee siluman, uang setoran, gratifikasi atau hadiah dan sebagainya.

Fenomena mencari pemimpin di alam demokrasi dewasa ini yang lebih mengutamakan beberapa kriteria seperti capable, credible, acceptable, dan sebagainya memang berbeda bila dibandingkan dengan model kepemimpinan sistem kerajaan dan apalagi kepemimpinan dalam spiritualitas (agama). Keduanya, baik model kepemimpinan dalam sistem kerajaan maupun agama, sama-sama mengedepankan sandaran wahyu Tuhan. Sebut saja semua hamba Allah yang diangkat menjadi Nabi atau Rasul (utusan-Nya) karena mereka mendapatkan wahyu dari Tuhan. Yang paling terkenal misalnya Nabi Musa dengan wahyu Kitab Taurat, Nabi Daud dengan Kitab Zabur, Nabi Isa dengan Kitab Injil dan Nabi Muhammad dengan wahyu al-Qur’an. Karena mereka mendapat wahyu dari Allah, secara otomatis mereka juga menjadi pemimpin umat.

Demikian halnya dalam sistem kerajaan. Para ksatria atau putra mahkota, sebelum menjadi Raja, mereka dituntut mempersiapkan tiga syarat, yakni;

Pertama, belajar ilmu rasional, seperti ilmu kaprajan (ilmu ketata-negaraan), ilmu agama, hukum, sosial, dan sebagainya.

Kedua, belajar ilmu kesaktian.

Ketiga, mencari wahyu; atau biasa disebut dengan justifikasi alam.

Meski seorang pangeran (putra Raja) yang kemudian dinobatkan menjadi ‘putra mahkota’, tetapi kalau dia tidak mendapatkan wahyu (pulung), dia tak dapat menjadi Raja. Sebaliknya, meski dia bukanlah seorang pangeran atau ‘putra mahkota’, tetapi karena mendapatkan wahyu, dia bisa menjadi Raja; contohnya Jaka Tingkir yang kemudian menjadi Sultan Hadiwijaya di Kasultanan Pajang dan Danang Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati Ing Ngalaga di Kasultanan Mataram.

Bagi seorang pemimpin Jawa yang telah mengadopsi Ngelmu Hasthabrata, sebagaimana dalam pewayangan Sri Rama Wijaya (Raja Pancawati) dan Sri Bathara Kresna (Raja Dwarawati), biasanya sang pemimpin dapat memimpin dengan adil dan bijaksana. Ngelmu Hasthabrata adalah ilmu mengenai kepemimpinan, yakni dengan meneladani 8 sifat alam, yaitu bumi (tanah), banyu (air), geni (api), angin (angin), srengenge (matahari), rembulan (bulan), lintang (bintang) dan samudra (laut).

Bisa dipastikan karena pemimpin sekarang ini tidak menggenggam Ngelmu Hasthabrata, apalagi wahyu sebagaimana yang diterima para Nabi/Rasul dan para satriya hingga dinobatkan menjadi Raja, maka out put dari kepemimpinan mereka adalah menggerogoti uang rakyat alias uang negara. Bukankah jelas karena modal mereka dalam pilkada, pileg dan pilpres adalah uang?

Sebaliknya, pemimpin yang dilahirkan dari keprihatinan dan tapa brata seperti Nabi/Rasul dan para Raja utama, tentu mereka sangat jauh dari hal-ihwal korupsi. Mengapa? Sebab mereka telah mengenyampingkan kenikmatan sesaat keglamoran kehidupan duniawi, sedang fokusnya adalah kebahagiaan yang abadi. Betapa jauhnya perbedaan itu.

(*Penulis adalah budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung-Jatim)