Sasana Budaya Ngesthi Laras Melestarikan Khasanah Seni-Budaya Jawa

0
LESTARIKAN BUDAYA:Ki Wawan Susetya ketika mendalang dalam fragmen adegan Limbuk-Cangik (ist)

Oleh: Wawan Susetya

TAHUN lalu, tepatnya tanggal 8 Juni 2017, Sasana Budaya Ngesthi Laras yang bertempat di Desa Tanggung Glotan, Campurdarat, Tulungagung telah mendapatkan bantuan seperangkat gamelan gangsa dari Kemendikbud melalui program FKBM (Fasilitasi Komunitas Budaya Masyarakat).

Tentu saja, pemberian bantuan seperangkat alat gamelan itu diterima dengan senang hati bagi para niyaga atau wira pradangga yang selama ini latihan di rumah Ki Rama Sudjinal, sesepuh Paguyuban Ngesthi Laras. Jika selama bertahun-tahun mereka berlatih dengan gamelan wesi (dari bahan besi), maka semenjak bantuan dari Kemendikbud itu datang, mereka ganti menabuh gamelan gangsa yang suaranya sangat khas.

Bahkan, untuk mewujudkan rasa syukur itu, Ketua Paguyuban Ngesthi Laras Ki Handaka menggelar gebyakan (pentas) wayang kulit dengan menampilkan tiga orang dalang Ki Wawan Susetya, Ki Sutarno dan Ki Sutrisno dengan lakon Alap-Alap Dewi Drupadi.

Bukan hanya itu, dengan dilandasi rasa syukur tadi, Ki Handaka semakin bersemangat dalam menggerakkan para niyaga atau wira pradangga dalam gladhen (latihan) seni krawitan atau karawitan. Sebutan krawitan atau karawitan, berasal dari kata ngrawit yang berarti lembut, pelik atau halus. Maka, seni krawitan itu benar-benar sangat sulit karena saking lembut atau halusnya.

Meski demikian, jika kita berlatih dengan rutin dan bersungguh-sungguh, tentu kita semua akan bisa memainkan gamelan, ujar Ki Handaka yang alumnus UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) jurusan Komunikasi itu.

Dalam menabuh gamelan memang bertingkat-tingkat. Artinya, ada gendhing (lagu) yang mudah, sedang, dan sangat rumit (pelik). Tak mengherankan bila banyak anak-anak SD yang sangat piawai dalam memainkan gamelan, terutama gendhing-gendhing yang mudah atau sederhana, misalnya Lancaran Kuwi Apa Kuwi, Blendrong, Suwe Ora Jamu, Sorak-Sorak Gembira, Ladrang Wahyu, Ladrang Pariwisata, Srempek, Sampak, dan sebagainya. Itu pulalah yang telah diajarkan oleh Ki Handaka beserta yaga sepuh seperti Mbah Bibit dan Mbah Jilan kepada anak-anak SD Tanggung I, sehingga mereka mumpuni menabuh gamelan.

Ketika Desa Tanggung kedatangan rombongan dari Tim Penggerak PKK yang dipimpin Ibu Wiwik (isteri Bupati Syahri Mulyo), Kades Suyahman pun menampilkan para niyaga anak-anak SD Tanggung I dengan menabuh beberapa gendhing seperti di atas. Bukan hanya itu, beberapa anak perempuan murid SD Tanggung I yang dipimpin Bapak Anas itu juga memberikan penyambutan kepada Ibu Bupati (Ibu Wiwik) beserta rombongan dari Tim Penggerak PKK dengan tari-tarian khas penyambutan.

Setelah itu beberapa anak perempuan murid SD itu menari Tari Gambyong yang mengisyaratkan penyambutan kepada tamu terhormat, terlebih acara saat itu dalam rangka memberikan bantuan modal kepada para janda.

Ki Rama Sudjinal, sesepuh Paguyuban atau Sasana Budaya Ngesthi Laras yang bertempat di Desa Tanggung Glotan memang sangat peduli terhadap khasanah seni-budaya. Sejak tahun 1970-an, Ki Rama Sudjinal telah memulai gladhen (latihan) seni krawitan dan pedalangan. Meski telah berganti generasi, lantaran banyak para niyaga atau wira pradangga yang telah meninggal dunia, tetapi Paguyuban Ngesthi Laras masih tetap eksis sampai saat ini. Dari sasana budaya itu telah muncul banyak dhalang, seperti (alm.) Ki Sudikno, (alm.) Ki Sukarlan, (alm.) Ki Mukadji, Ki Sumaji, Ki Heru Rahadi, Ki Sutrisno, Ki Pamuji, Ki Kesi, Ki Slamet, Ki Pardan, Ki Marsaid, Ki Wawan Susetya, dan sebagainya.

Selama ini mereka berlatih sebagai klangenan seminggu sekali, tiap malam Minggu. Tetapi jika ada keperluan akan pentas, misalnya, latihannya bisa 2-3 seminggu, ujar Ki Sudjinal.

Visi misi Paguyuban Ngesthi Laras tak lain adalah melestarikan khasanah seni-budaya, yaitu seni krawitan, pedhalangan, dan tari-tarian. Meski kebanyakan anak-anak muda zaman now lebih suka musik dangdut atau kalau di desa kesenian jaranan, tetapi Ki Handaka selaku pengurus Paguyuban Ngesthi Laras seolah tak mau patah semangat. Terus berjuang, meskipun banyak tantangannya.

Syuting TV Program Indi Home
Belum lama ini, Mas Kakapanggilan akrab Ki Handaka terlihat sangat sibuk mengadakan latihan bersama para niyaga atau wira pradangga. Dalam latihan itu, bahkan juga mempersiapkan sebuah geguritan (puisi Jawa) yang berjudul Nang Ning Nung Gung. Puisi tersebut rencananya bukan hanya dalam Bahasa Jawa saja, tetapi juga dibacakan dalam Bahasa asing (Mandarin, Jepang, Inggris dan Arab). Rencananya puisi tersebut dibaca oleh beberapa orang secara bergantian.

LIVE: Ki Handaka pengurus Paguyuban Ngesthi Laras saat diwawancarai Ismi Iskandar, host TV Program Indi Home Jakarta. (ist)

Dalam waktu dekat ini, insyaallah tanggal 22 Maret, kami mendapatkan undangan untuk tampil di Dinas Pariwisata dan Olahraga (Dispora) Propinsi Jatim di Surabaya. Makanya ini teman-teman yaga sering latihan agar bisa tampil dengan baik di Surabaya nanti, ujar Ki Handaka di sela-sela latihan krawitan.

Selain itu, dia selaku pengurus Paguyuban Ngesthi Laras juga berencana akan mengajukan permohonan untuk pentas di acara Kick Andy Metro TV dengan menampilkan para yaga (penabuh gamelan) cilik anak-anak SD dan yaga sepuh (tua) serta puisi berbahasa Jawa maupun bahasa asing, yaitu Bahasa Mandarin, Jepang, Inggris, dan Arab.

“Dengan menggunakan bahasa asing seperti itu, saya berharap agar kesenian krawitan semakin dikenal sampai luar negeri, tandasnya berharap.
Ketika Ki Handaka beserta kawan-kawannya para yaga sedang giat-giatnya berlatih, secara tak terduga ada kru TV Program Indi Home atau tv kabel (tv berlangganan) dari Jakarta yang akan melakukan syuting ke Paguyuban Ngesthi Laras. Tentu saja, tawaran itu diterima dengan senang hati oleh Ki Handaka, sehingga ia mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik.

Sementara, kedatangan TV Program dari Jakarta yang dipimpin Iyan selaku pengarah acara dan Ismi Iskandar selaku host itu bermaksud hendak melakukan syuting tiga tempat, yaitu purbakala (Museum Wajakensis dan Candi Cungkup), kerajinan marmer di Gamping dan seni krawitan di Paguyuban Ngesthi Laras di Tanggung Glotan.

Dan, pelaksanaan syuting di Paguyuban Ngesthi Laras itu pada hari Selasa (malam Rabu) tanggal 16 Januari 2018 lalu. Acara dimulai sekitar jam 19.00 Wib dengan menampilkan anak-anak SD Tanggung I dengan berseragam Kejawen yang menabuh beberapa gendhing krawitan, seperti Lancaran Kuwi Apa Kuwi, Jamu-Jamu, Sorak-Sorak Gembira, Ladrang Wahyu, Ladrang Pariwisata, dan sebagainya.

Sambil diiringi suara gamelan yang dimainkan oleh para yaga cilik, Ki Handaka selaku pengurus Paguyuban Ngesthi Laras diwawancarai oleh artis Ismi Iskandar, host TV Program Indi Home atau tv kabel dari Jakarta. Para kru TV Program nampak sibuk merekam atau melakukan syuting dari berbagai tempat karena ada tiga kamera yang dipergunakan syuting saat itu.

Dalam wawancara itu, Ki Handaka selaku ketua Sasana Budaya Ngesthi Laras memang banyak mengupas tentang falsafah gamelan sebagaimana makna yang terkandung di dalam geguritan Nang Ning Nung Gung.

Nang adalah suara bonang, sebenarnya mengisyaratkan bahwa Tuhan memberikan wewenang kepada manusia supaya menentukan pilihan; apakah mereka (manusia) memilih jalan kebenaran ataukah jalan yang salah? Tetapi, tentu ada resikonya masing-masing atas pilihan itu.

Ning identik suara peking (termasuk saron dan demung) memberi sasmita bahwa dalam kehidupan manusia harus selalu dibarengi dengan weninging pikir (berpikir dengan bersih, mendalam).
Nung identik suara kenong melambangkan bahwa dalam perjalanan kehidupannya, manusia sesungguhnya bercita-cita agar bisa dumunung (bertemu dengan Tuhan). Sementara, Gung yang merupakan suara gong, maknanya memberi isyarat kalau telah mendapatkan ridha Tuhan.

Karena gamelan itu merupakan karya para pujangga Jawa di zaman dahulu yang gemar tirakat, tak mengherankan bila ada beberapa pakar dunia yang menyatakan bahwa suara musik gamelan identik dengan suara surga, ujar Ki Handaka.

Dia juga menjelaskan bahwa dalam gendhing gamelan ada 3 (telu) pathet, yaiku pathet 6 (nem), 9 (sanga), dan manyura yang semua itu juga sarat terhadap falsafah kehidupan. Misalnya pathet 6 itu identik dengan usia para remaja (anak-anak), lalu pathet 9 identik dengan usia pertengahan (pemuda), sedang pathet manyura mengisyaratkan usia tua. Kata manyura bermakna marak (menghadap kepada Gusti Allah) dan marek (mendekatkan diri kepada-Nya).
Di gendhing-gendhing atau musik gamelan itu juga terdapat berbagai macam irama, misalnya ada irama 1, 2, 3 dan 4 yang semua itu berbeda-beda cara menabuhnya, jelasnya.

Selain itu, di dalam gendhing-gendhing gamelan juga dikenal istilah buka; yaitu pembukaan sebagai isyarat akan dimulainya suatu gendhing (lagu). Misalnya ada buka yang menggunakan bonang, gender, rebab, kendhang, dan buka celuk (bawa).

Buka dengan bonang, misalnya identik dengan gendhing-gendhing kasar, seperti Gendhing Lancaran dan Ladrang. Kalau buka dengan gender dan rebab biasanya halus, seperti Gendhing Ketawang. Ada pula gendhing-gendhing Srempek Sampak dan Ayak-Ayak yang menggunakan buka kendhang. Terakhir yaitu buka celuk atau bawa untuk memulai gendhing-gendhing khusus. Yang jelas, semua itu tersimpan falsafah Jawa dari para pujangga Jawa mengenai hidup dan kehidupan ini.

Di sela-sela acara wawancara, Ki Handaka kemudian memanggil satu persatu secara bergantian orang-orang yang ditunjuk membaca puisi dengan berbagai bahasa. Judul puisinya Nang Ning Nung Gung yang dibaca oleh Bu Eni, Bu Mujini, Bu Endang, Niken Larasing Tyas, termasuk host Ismi Iskandar yang membaca puisi Bahasa Arab.

Geguritan atau puisi Jawa yang berjudul Nang Ning Nung Gung karya Ki Handaka tadi memang sarat terhadap falsafah gamelan itu sendiri.
Geguritan atau puisi tersebut seperti di bawah ini.

Nang-Ning-Nung-Gung
Nang ning nung gung
tuhu swaraning gamelan
utawi gangsa kang paring pralampita
gesanging manungsa

Nang, puniku swara BONANG
manungsa pinaringan wenang milih jantraning gesang
ala becik bener lan luput

Dene Ning, swaraning PEKING
paring pralampita bilih lampah gesanging manungsa
kedah linambaran weninging pikir

Kalamun Nung puniku
larasing KENONG
paring pralampita bilih manungsa urip puniku
kumedah-kedah dumunung

Miwah Gung tuhu
unining GONG
pralampita sadaya lampah jantraning manungsa
wus katampi mring Hyang Agung
Kang sinedya teka kang sinabda dadya

Dhuuh…para kadang Nuswantara
kang wus pinaringan nugraha gangsa
sumangga samya angglegadhi dhiri
mrih uninga laras
saha patheting gangsa
kang satuhu kena kinarya
pralampita gesanging manungsa

Penutup acara syuting TV Program Indie Home malam itu dengan menampilkan fragmen atau cuplikan pagelaran wayang kulit adegan Limbuk-Cangik yang dilakukan oleh Ki Wawan Susetya dengan ber-Bahasa Inggris. Sedang, para niyaga atau wira pradangga ganti para bapak-bapak sepuh yang dipimpin oleh Ki Sudjinal, sesepuh Paguyuban Ngesthi Laras.

Dalam fragmen adegan Limbuk-Cangik itu, Ki Wawan Susetya menjelaskan pula tentang makna falsafah Nang Ning Nung Gung yang berkaitan dengan gamelan. Selain itu, ia juga menyinggung tentang fenomena gamelan dan wayang kulit yang telah diakui oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) di markasnya New York Amarika pada tahun 2005 sebagai warisan dunia. Bukan hanya itu, bahkan keris dan batik yang merupakan khasanah kekayaan RI pun juga diakui sebagai warisan dunia.

Itulah sebabnya ia mengajak kepada penonton (audience) untuk ikut melestarikan khasanah budaya Jawa yang adi luhung, terutama seni krawitan dan pedalangan. Bisa dibayangkan, kalau anak-anak muda tidak mau belajar seni krawitan dan pedalangan, tidak mustahil kelak mereka akan belajar ke Negeri Kincir Angin Belanda. Hal itu sudah terbukti, misalnya untuk menempuh program S-3 (program Doktor) Bahasa dan Sastra Jawa harus ke Leiden Belanda, lantaran tidak tersedia di universitas di Indonesia. Padahal, bukankah Bahasa dan Sastra pusatnya ada di Jawa?!

o0o