Grebeg Bhinneka Tunggal Ika Pertama di Tulungagung

2
MERAH PUTIH: Suasansana Grebeg Bhineka Tunggal Ika di Tulungagung.

Oleh: Wawan Susetya*

TULUNGAGUNG-kadenews: Tulungagung adalah kota sebagai cikal-bakal lahirnya slogan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti meskipun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua. Lengkapnya Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa; meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tak ada kebenaran yang bermuka dua (mendua).

Barangkali banyak orang terhenyak kaget mendengar kabar seperti itu, tetapi itulah faktanya. Pada saat keadaan bangsa dan negara sekarang ini terancam oleh provokasi ideologi dari luar dan ancaman perpecahan anak bangsa, maka senjata yang paling ampuh untuk membentengi hal itu adalah empat pilar bangsa, sebagaimana yang terus disosialisasikan oleh MPR, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

Terlebih adanya ancaman intoleransi dan perpecahan yang mengarah pada SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), maka senjata Bhinneka Tunggal Ika merupakan kunci yang ampuh untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Diyakini bahwa penggagas slogan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa itu adalah Ibu Ratu Gayatri sebagai penyatuan dua agamayaitu Agama Hindu Tantrayana dan Budha Mahayanayang berkembang di Kerajaan Majapahit pada masa kepemimpinan Maha Prabu Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada.

Perkawinan dua agama Hindu Tantrayana dan Budha Mahayana itu kemudian melahirkan Agama Siwa Budha atau ada pula yang menyebut Agama Dharma.
Ibu Ratu Gayatri adalah seorang brahmani dan Guru spiritual Majapahit sekaligus nenek Prabu Hayam Wuruk.

Pada saat itu Ratu Gayatri menjadi mahaguru atau guru spiritual yang bertempat di padepokan (Karesian, Mandala Kadewaguruan) di Gua Pasir (sekarang terletak di Desa Junjung, Kec. Sumbergempol, Tulungagung) sekaligus sebagai konsultan Maha Prabu Hayam Wuruk.

Setelah dikukuhkannya slogan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa, ternyata Kerajaan Majapahit di bawah kepemimpinan Maha Prabu Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada benar-benar menjadi ayem-tentrem gemah ripah loh jinawi kerta tur raharja (hidup aman-tentram damai dengan keadaan tanahnya yang subur makmur sehingga membawa kesejahteraan rakyat).

Itulah masa keemasan atau masa kejayaan Kerajaan Majapahit pada abad XIV di bawah kepemimpinan Maha Prabu Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa yang kemudian dapat mempersatukan wilayah Nusantara hingga kawasan Asia Tenggara.

Menurut Akhol Firdaus, panitia Grebeg Bhinneka Tunggal Ika bahwa Tulungagung diyakini sebagai kota yang menyimpan jejak-jejak sejarah kegemilangan masa lalu Nusantara. Kota ini termasuk salah satu surga arkeologi di Jawa Timur. Hal yang paling menonjol dari bukti-bukti arkeologis tersebut adalah, adanya sintesis-mistis antar-agama dari zaman ke zaman.

Sintesis-mistis itu dibuktikan dengan banyaknya candi dan warisan arkeologi lain yang memadukan simbol dan ornamen Hindu-Buddha. Bahkan, kehadiran Islam dianggap tidak mengusik warisan arkeologi yang ditinggalkan oleh dua agama pendahulu tersebut, tetapi merestorasinya.

“Bukti-bukti tersebut juga menguatkan keyakinan bahwa di masa lalu Tulungagung merupakan kawasan yang dibangun sebagai wilayah spiritual bagi banyak agama. Sebagian besar masyarakat Tulungagung meyakini bahwa pematangan ajaran Bhinneka Tunggal Ika di masa lalu, salah satunya, terjadi di kawasan ini, tandas Akhol yang juga staf pengajar sekaligus ketua Institute for Javanese Islam Research (IJIR) IAIN Tulungagung.

Lebih jauh, Akhol memiliki argumentasi mengenai daerah Tulungagung sebagai cikal-bakal kelahiran slogan Bhinneka Tunggal Ika dengan keberadaan pendharmaan Sri Gayatri Rajapatni di kawasan Boyolangu. Ratu Majapahit tersebut dianggap sebagai figur sentral yang menggali dan mewariskan ajaran spiritualitas bhinneka tunggal ika hingga masa kegemilangan Majapahit di tangan cucunya, Hayam Wuruk.

Dia menyimpulkan bahwa Tulungagung adalah lokus penting dalam pematangan konsep Bhinneka Tunggal Ika. Narasi Bhinneka Tunggal Ika juga dianggap sebagai ajaran suci yang mata-rantainya bisa dilacak sejak zaman Raja Airlangga. Spirit ajaran itu, adalah imajinasi tentang keutuhan.

Melalui hasil penelitian yang dilakukan Institute for Javanese Islam Research (IJIR) IAIN Tulungagung bertajuk Melacak Jejak Spiritualitas Bhinneka Tunggal Ika dan Visi Penyatuan Nusantara di Bumi Tulungagung, maka diperoleh penegasan bahwa Tulungagung merupakan kawasan spiritual, tempat digali dan dimatangkan dua ajaran sekaligus, yakni ajaran Bhinneka Tunggal Ika dan Cakrawala Mandala Nusantara. Ajaran yang disebut kedua merupakan ajaran tentang penyatuan mandala-mandala di seluruh Nusantara.

Dari berbagai kegiatan sarasehan dan diskusi yang dilakukan IJIR IAIN Tulungagung bersama seluruh elemen masyarakat, maka diwujudkanlah Grebeg Bhinneka Tunggal Ika pada Selasa tanggal 26 Desember lalu dari IAIN Tulungagung ke Candi Gayatri di Boyolangu. Kegiatan Grebeg Bhinneka Tunggal Ika itu dilakukan oleh IJIR IAIN Tulungagung bekerja sama dengan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia Kab. Tulungagung yang dipimpin oleh Ir. Sukriston.

Menurut dia bahwa Grebeg Bhinneka Tunggal Ika itu bukan sekadar festival kebudayaan, tetapi juga cara masyarakat Tulungagung menandai dan meneguhkan identitas sebagai penyokong ajaran Bhinneka Tunggal Ika yang diwariskan dari zaman ke zaman. Melalui acara ini, mayarakat juga menyerukan spirit Bhinneka Tunggal Ika itu harus tetap menjadi identitas nasional Indonesia.

KALI PERTAMA DIGELAR: Sejumlah tokoh nasional dan daerah hadir mengawali acara dengan berorasi.

Sebelum acara Grebeg Bhinneka Tunggal Ika dimulai, banyak tokoh nasional maupun daerah yang berorasi mengenai peneguhan slogan tersebut, antara lain Prof Dr Hariyono (UKP-PIP), Eva K Sundari (Kaukus Pancasila DPR RI), dan Naen Soeryono (Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia), Kusnadi (DPRD Jawa Timur), Ir Syahri Mulyo Bupati Tulungagung, Supriyono (Ketua DPRD Tulungagung), Dr Maftukhin selaku Rektor IAIN Tulungagung.

Syahri Mulyo Bupati Tulungagung yang mendukung acara Grebeg Bhinneka Tunggal Ika yang diselenggarakan kali pertama itu berharap even seperti itu diagendakan setiap tahun. Sebab even ini (Grebeg Bhinneka Tunggal Ia) menegaskan bahwa Tulungagung memiliki ikatan sejarah ajaran Bhinneka Tunggal Ika.

Melalui acara ini diharapkan spirit Bhinneka Tunggal Ika tidak sekadar menjadi semboyan semata, namun menjadi ajaran yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, tandas Syahri Mulyo yang membuat slogan Kab Tulungagung Ayem Tentrem Mulyo Lan Tinoto.
Setelah mereka berorasi di halaman kampus, acara dilanjutkan dengan kirab atau grebeg Bhinneka Tunggal Ika dengan menampilkan parade kesenian, seperti leyang-leyong. Arak-arakan diikuti oleh lintas agama, peserta dengan bersepeda turangga Jawa, pawai becak, mobil hias dengan mengusung lambang Garuda Pancasila, dan sebagainya. Para peserta rata-rata mengenakan pakaian tradisional ketika kirab atau arak-arakan dari IAIN Tulungagung menuju Candi Gayatri di Boyolangu.

Malamnya acara diteruskan dengan menampilkan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan Ki dalang Wongso Subagyo, dalang kondang dari Desa Kendalbulur-Boyolangu. (*/adi)

*) Penulis adalah budayawan & penulis buku, tinggal di Tulungagung

Comments are closed.