Artikel : Mengenang Bung Karno, Sang Karna Oleh: Wawan Susetya, Sastrawan-Budayawan

0

SEMASA saya masih kecil, almarhum bapak saya sering menceritakan kisah Bung Karno dari perjuangan dan kegigihannya dalam memperjuangkan kemerdekaan RI sampai hal-hal kecil yang menggelitik terutama menyangkut hubungannya dengan para isteri.

Bapak saya memang pengagum Bung Karno. Sehingga wajar kalau koleksi buku-buku tentang Bung Karno seabrek. Bukan hanya buku-buku serius seperti “Indonesia Menggugat” dan penulisan sejarah proses Sidang BPUPKI mengenai dasar negara Pancasila yang antara lain disampaikan oleh Mr Soepomo, Muh Yamin dan Bung Karno saja, tetapi juga hal-hal nyleneh yang dilakukan oleh Bung Karno. Bahkan dalam dunia spiritualitas yang barangkali luput dari perhatian banyak orang.

Salah satu poin utama yang sering diceritakan bapak saya mengenai Bung Karno mengenai yaitu kegandrungannya terhadap persatuan bangsa, jangan sampai terkoyak.

Barangkali, karena kecintaannya yang besar terhadap persatuan anak bangsa itulah Bung Karno pernah memiliki gagasan yang dikenal luas sebagai kebijakan yang sangat kontroversial, NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis). Kenyataannya NASAKOM tersebut tak ubahnya seperti menyatukan antara air dan minyak, tak bisa menyatu. Begitulah kenyataannya gagasan Bung Karno mengenai NASAKOM akhirnya kandas di tengah jalan.

Dalam konteks tulis-menulis di media massa di zamannya, Bung Karno biasanya menggunakan nama pena “Bima”, panenggak Pandhawa. Hal itu setidaknya mengisyaratkan bahwa selain Bung Karno menyenangi dan mendalami falsafah pewayangan (wayang kulit), Bung Karno juga memiliki tokoh kesayangan dalam pewayangan yaitu Bima alias Brata Sena atau Wrekudara dan sebagainya.

Dan, tokoh Bima tersebut sebagaimana dikisahkan dalam lakon “Bima Suci” berusaha mencari ngelmu Kasampurnan hingga menggapai keberhasilan yang ditandai dengan bertemu dengan Dewa Ruci alias Ruci Bathara sebagai guru sejatinya.

Dalam pengalaman spiritual Bung Karno yang pernah diceritakan bapak saya, misalnya, Bung Karno pernah melakukan dzikir-wirid di dalam ruang tahanan (penjara), tiba-tiba Bung Karno merasakan sesuatu yang aneh, tubuhnya membesar hingga memenuhi ruangan penjara dan di sisi lain tubuhnya tinggi sekali hingga menembus langit.

Dalam konteks spiritual sesungguhnya hal itu mengisyaratkan bahwa Allah sedang membesarkan dan meninggikan derajat spiritual Bung Karno.

Bahkan, ketika Bung Karno di dalam penjara di masa penjajahan Belanda, Bung Karno malah memanfaatkan belajar dan diskusi agama secara mendalam bersama A Hasan, tokoh Islam Persis Bandung. Setidaknya hal itu menunjukkan perhatian Bung Karno terhadap “Api Islam” yang senantiasa terus dipeliharanya dalam kehidupannya.

Ada pengalaman menarik ketika seorang sahabat yang rumahnya Bondowoso singgah ke rumah saya di Tulungagung beberapa tahun silam.

Ternyata sahabat tadi baru baru saja melakukan ziarah ke makam-makam para auliya’ (para wali atau kekasih Allah) di Jawa Timur yang jumlahnya 41 orang. Menariknya dalam daftar para kekasih Allah yang ditunjukkan sahabat saya tersebut, salah satunya Bung Karno.

Saya termasuk orang yang sangat ta’dhim kepada sahabat saya itu, sehingga saya mempercainya apa yang ditunjukkan dalam daftar para wali itu.

Namun, selain Bung Karno senang dengan tokoh Bima dalam pewayangan, ternyata dalam sebuah buku–sayang saya lupa judulnya–Bung Karno juga senang dengan tokoh kontroversi Basukarna alias Karna, Adipati Ngawangga.

Kebetulan nama Bung Karno sama dengan sosok Sang Adipati Karna atau Basukarna yang karakternya “becik tinutupan ala” (karakter aslinya baik, tetapi diperlihatkan kurang baik). Adipati Karna sendiri sesungguhnya saudara se-ibu dengan para Pandhawa.

Ia, Adipati Karna adalah putra Dewi Kunthi Talibrata yang dengan Ajian Pameling pemberian Resi Druwasa dapat “memanggil” Bathara Surya yang kemudian memberikan anugerah seorang jabang bayi bernama Basukarna yang dipanggil juga Suryatmaja (putra Bathara Surya).

Meski Basukarna saudara sekandung dengan para Pandhawa yang merupakan anak-anak Dewi Kunthi, namun Karna dalam Perang Bratayuda Jayabinangun, dia justru bergabung dalam barisan para Kurawa.

Sebelum perang besar itu terjadi, sesungguhnya Karna sudah mengetahui kalau dia saudara tertua para Pandhawa. Tetapi mengapa Basukarna tetap membela para Kurawa?

Diam-diam Basukarna sesungguhnya mengerti kalau tanpa keberpihakannya di kubu Kurawa, mereka para Anggendari Suta yang jumlahnya 100 orang itu tak akan berani menghadapi para Pandhawa.

Maka agar “perang darma” atau “perang suci” antara Pandhawa dan para Kurawa itu terjadi, satu-satunya jalan yang musti ditempuh Karna yaitu dengan berpihak kepada para Kurawa.

Hal itu bukan berarti Karna tidak mengetahui resiko apa yang mesti ditanggungnya. Karena dia akan berhadapan dengan saudaranya Raden Arjuna yang dikenal sebagai pemanah ulung, maka Karna hanya siap menjalani takdir hidupnya saja.

Dalam hal ini, sekali lagi, Karna sesungguhnya hanya berusaha menjalani peran sebagai “tumbal” dalam perang saudara itu.

Bagaimana pun perang yang bertujuan dengan semboyan “Memayu Hayuning Bawana” atau “Suradira Jayaningrat lebur dening Pangastuti” antara Pandhawa dengan para Kurawa harus terjadi.

Tidak lain dan bukan bahwa dalam perang suci Bratayuda Jayabinangun tersebut, pihak yang sifatnya angkara murka yaitu para Kurawa harus mendapatkan hukuman.

Sebaliknya kalau perang darma tersebut sampai gagal atau tidak terjadi, niscaya keangkara-murkaan tentu akan merajalela di muka bumi.

Dan, meski Basukarna tahu resikonya, namun ia siap menjadi “tumbal” dalam perang saudara itu.

Dan, ketika perang besar antara Pandhawa dan para Kurawa itu benar-benar terjadi, akhirnya Basukarna gugur setelah terkena panah sakti Arjuna.

Gugurnya Basukarna tersebut dimaksudkan bukan membela angkara murka para Kurawa, tetapi demi terwujudnya perang suci tersebut dengan kemenangan Pandhawa. Maka dalam hal ini Karna menjadi “tumbal” perang saudara antara Pandhawa dan para Kurawa.

Ketika menjelang meletusnya peristiwa G30S/PKI, sebagaimana dijelaskan dalam buku tadi, ternyata Bung Karno memilih peran seperti Karna sebagai “tumbal” demi bangsa dan negaranya.

Dalam peristiwa berdarah itu jelas sekali bahwa PKI hendak melakukan kudeta atau merongrong kedaulatan NKRI, sehingga mereka ditumpas oleh TNI bersama rakyat.

Sebagaimana semboyan dalam Perang Bratayuda Jayabinangun yaitu “Memayu Hayuning Bawana” dan “Suradira Jayaningrat lebur dening Pangastuti”, maka demikian pulalah yang terjadi pada peristiwa G30S/PKI. Atau dengan kata lain kebatilan akan dikalahkan oleh kebenaran.

Barangkali dalam peristiwa berdarah itu Bung Karno merasa tidak sampai hati akan “menghukum” kepada PKI yang semuanya dianggap sebagai anak-anaknya dalam NASAKOM, sehingga diserahkan kepada TNI dan rakyat.

Sebaliknya dalam peristiwa G30S/PKI tahun 1965 tersebut malah ada yang berspekulasi menduga bahwa Bung Karno berada di balik peristiwa berdarah itu.

Atau dengan kata lain bahwa Bung Karno bukan hanya mengetahui rencana peristiwa berdarah itu, tetapi bahkan mendalangi peristiwa kudeta atau makar itu.

Jelas hal itu logikanya terbalik, bagaimana mungkin Bung Karno yang notabene seorang presiden RI lalu merencanakan kudeta terhadap pemerintahannya sendiri?! Wallahu a’lam.

Yang jelas, Bung Karno adalah Sang Proklamator, penggagas Pancasila, presiden pertama dan pahlawan kita.

Setidaknya kita bisa merenungkan warisan quote Bung Karno di tengah maraknya praktik korupsi yang menggila saat ini, “Jangan tanyakan apa yang bangsa dan negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kau berikan kepada bangsa dan negaramu”. ***