Sugeng Ambal Warsa Cak Nun yang Ke-71 Oleh: Wawan Susetya, Sastrawan-Budayawan

0

KAMI semua tengah mengikuti dengan asyik pelajaran dari Cak Nun, panggilan akrab Budayawan Emha Ainun Nadjib, di suatu ruang kelas. Tiba-tiba Cak Nun memanggil saya seraya memberi isyarat supaya saya menggantikan beliau mengajar.

Tanpa berpikir panjang, saya pun berdiri di depan kelas mengajar menggantikan posisi Cak Nun. Entah ke mana, yang jelas Cak Nun minta izin keluar kelas. Meninggalkan kami semua.

Setelah beberapa saat mengajar di depan kelas, entah apa yang saya ajarkan, tiba-tiba saya terbangun dari tidur. Rupanya saya telah bermimpi bertemu Cak Nun dalam sebuah adegan mengajar di suatu kelas lalu saya ditugaskan untuk menggantikan peran beliau.

Mimpi tersebut saya alami lebih dari 30 tahun lalu tatkala saya masih menjadi mahasiswa di perguruan tinggi di Malang.

Barangkali bukan suatu kebetulan ketika pada suatu hari pada tahun 2001, saya mendapat tugas menulis nilai-nilai dari Cak Nun ketika di Jakarta.

Selain saya, ada dua orang sahabat lagi yang ditugasi menulis bersama saya yaitu Mas Prof. Dr. Aprinus Salam (sekarang guru besar di UGM) dan Mas Dr. Alfan Alfian (dosen UNAS Jakarta).

Setelah berproses menulis beberapa bulan, maka terbitlah buku yang berjudul “Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib” tahun 2001 yang diterbitkan Penerbit Republika Jakarta & Zaituna Yogyakarta.

Buku dengan tiga orang penulis tersebut merupakan buku perdana saya. Terus-terang, meskipun waktu itu saya senantiasa berjibaku dalam dunia tulis-menulis, tapi saya merasa belum PD mengirimkan naskah ke penerbit mayor.

Tapi, setelah terbitnya buku “Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib” itu saya mulai berani mengirimkan naskah-naskah buku saya ke beberapa penerbit.

Di antaranya Penerbit Republika dengan beberapa buku dengan judul “Perdebatan Langit Dan Bumi” (2005), “Bila Surga Neraka (Tak Pernah) Ada” (2007), “Merajut Benang Cinta Perkawitan” (2008) dan beberapa penerbit lain seperti Penerbit Kreasi Wacana Yogyarta, Penerbit Tiga Serangkai Solo, Penerbit Diva Press Yogyakarta, Penerbit Narasi (Media Pressindo Utama) Yogyakarta, Penerbit Tugu Publisher Yogyakarta, Penerbit Galang Yogyakarta, Penerbit Qudsi Media Yogyakarta, Penerbit Elex Media Komputindo Jakarta, Penerbit Dahara Prize Semarang, Penerbit Imania Depok, Penerbit Qibla Jakarta hingga Penerbit PTS Millenia Sdn. Bhd Selangor Malaysia.

Yang terakhir itu Penerbit PTS Millenia Malaysia ada 9 buku saya yang diterbitkan yang peredarannya ke beberapa negara Asia Tenggara, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Filiphina, Thailand, Vietnam dan sebagainya.

Yang jelas, semenjak buku perdana “Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib” terbit tahun 2001, saya menjadi keranjingan menulis buku.

Apalagi iklim perbukuan nasional saat itu sangat bagus terutama berkisar sejak tahun 2001 hingga 2019. Alhamdulillah hingga kini buku karya saya hampir 100-an buku yang semuanya diterbitkan penerbit mayor ber-ISBN.

Tetapi saat pandemi Covid-19 menerpa di semua negara di dunua tahun 2020, ceritanya lain. Banyak penerbit buku yang gulung tikar, bahkan toko-toko buku juga banyak yang tutup.

Maka dari itu, saya berusaha untuk membuat kegiatan hiburan sebagai selingan yang bermanfaat bagi khalayak. Saya bersama teman-teman membuat forum diskusi yaitu ForSabda (Forum Sarasehan Seni & Budaya) pada bulan Maret 2020, awal pandemi.

Bersama ForSabda, kami menggelar sarasehan sebulan sekali hingga sekarang. Banyak relasi yang membantu kelancaran jalannya sarasehan, antara lain Kung Lamidi (sesepuh Veteran Tulungagung), KH. Dr. M. Teguh (dosen UIN Satu Tulungagung), Bapak Laksda (purn) Harry Yuwono yang senantiasa memfasilitasi sarasehan kami, Bapak Budi Kastowo (Pustakawan Perpustakaan Bung Karno Blitar), Bapak Bambang Kardjono (mantan Kepala Dikbud Tulungagung) dan sebagainya.

Selain ForSabda, saya juga berkecimpung aktif dalam beberapa organisasi budaya lainnya seperti Sasana Budaya Ngesthi Laras, Paguyuban Krama Semita, SUMBUD (Sumbaga Budaya) dan Maiyah SWA (Segi Wilasa Agung) Tulungagung yang semuanya memiliki agenda kegiatan bulanan.

Dalam pada itu, di luar kegiatan menulis, saya juga sering diundang acara mahasiswa UIN SATU Tulungagung dengan beragam tema, mulai pelatihan kepenulisan, pelatihan kepemimpinan, dialog agama, diskusi budaya dan sebagainya. Prinsipnya mengenai menulis yang saya bagikan kepada para mahasiswa, “Menulislah apa yang Anda sukai dan kuasai.”

Saya sendiri karena berlatar belakang wartawan, seperti dikatakan Bos Surya Aka dalam berbagai kesempatan bahwa ilmu wartawan itu menguasai sedikit terhadap banyak hal.

Barangkali saya bisa bicara sedikit tentang pendidikan, seni-budaya, agama, politik, hukum, ekonomi, sosial dan sebagainya tetapi tentu saja tidak mendalam.

Hal itu berbeda dengan akademisi yang memang fokus dengan satu jurusan tertentu yang ilmunya tentu saja sangat mendalam.

Saya juga sangat terkesan dengan apa yang disampaikan Cak Yusron (adik Cak Nun) mengenai “lokal genius”, artinya apa saja yang kita hayati, jiwai dan kita kerjakan dalam kehidupan sehari-hari bisa kita tuliskan dalam bentuk buku.

Dan, saya pun juga menjalaninya. Misalnya ketika saya menggeluti seni krawitan dan pedhalangan termasuk tembang Macapat, maka saya pun menulis tentang budaya.

Demikian halnya ketika saya mengaji ke Pengajian Padhang Bulan di Jombang yang saat itu diasuh oleh alm. Cak Fuad Effendy dan Cak Nun, maka saya pun juga menulis tentang nilai-nilai keagamaan. Juga ketika saya mendalami cerita pewayangan dan sejarah, maka saya pun menulis novel mengenai pewayangan dan fiksi sejarah.

Bagaimana pun saya sangat bersyukur dalam menggeluti kepenulisan hingga saat ini. Saya sangat terinspirasi dengan pernyataan Imam al-Ghazali yang mengatakan, “Kalau engkau bukan anak Raja dan anak Ulama besar, maka jadilah penulis.

Dalam konteks ini, saya menemukan ‘benang merah’-nya bahwa dengan menjadi penulis tentu harus banyak membaca, artinya banyak belajar.

Hal itu sesuai dengan semboyan utama bahwa membaca dan menulis itu merupakan dua hal yang tak dapat dipisah-pisahkan seperti dua kepak sayap burung. Atau membaca dan menulis tadi bagaikan dua keping mata uang yang tak mungkin dihilangkan salah satu bagian.

Belum lagi apa yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Tour, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi kalau mereka tidak menulis, mereka akan hilang dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.

Perkataan Pramoedya tersebut jelas mengingatkan mengenai jenis amal sholeh yang terus mengalir, yakni ilmu yang bermanfaat.

Bagaimana pun, menulis itu merupakan sesuatu yang sangat penting, terutama mengenai tema-tema yang bermanfaat dalam kehidupan.

Buku sendiri identik dengan jendela dunia, maka si penulis buku tersebut telah berjasa dalam memajukan peradaban bangsanya.

Tanggal 27 Mei 2024 kemarin merupakan hari ulang tahun Cak Nun yang ke-71 tahun. Banyak simpul dan lingkar Maiyah di seluruh Nusantara yang membuat acara dalam rangka mangayubagya ultah Cak Nun yang ke-71.

Yang utama tentu saja Mocopat Syafaat di rumah Maiyah di Jalan Kadipiro Yogyakarta sekaligus kediaman Cak Nun.
“Sugeng ambal warsa nggih Cak, semoga senantiasa sehat wal afiat dalam menemani anak-anak Maiyah se-Nusantara”. ***