Seni Budaya

Lawak dalam Pagelaran Wayang Kulit

0
KOMEDIAN: Jo Klithik &t Jo Kluthuk atau Precil & Yudho dalam satu pagelaran wayang kulit. (Foto-foto wawansusetya)

Oleh: Wawan Susetya*

MARAKNYA pagelaran atau pementasan wayang kulit akhir-akhir ini di berbagai daerah Jawa Timur terutama Tulungagung, nampaknya memang tak bisa dilepaskan dengan kehadiran para dhagelan, lawak (komedian), sepeorti Jo Klithik & Jo Kluthuk, Precil & Yudho, Topan dkk, dan sebagainya.

Penampilan mereka akan semakin hot lagi ketika pentas bareng dengan Lusi Brahman, sindhen sekaligus merangkap sebagai pelawak asal Ponorogo atau Probo Rini dari Surabaya.

Mereka tergolong para lawak (komedian) regional Jawa Timur yang telah memiliki jam terbang cukup lama, sehingga mampu mengocok perut para penonton wayang kulit.

Tak jarang pula, Tulungagung kedatangan lawak kondang dari Jawa Tengah seperti Gareng (Semarang) dan Gareng (Boyolali) serta Marwoto dan Yati Pesek dari Yogyakarta. Meski lawak Gareng, baik yang dari Semarang maupun Boyolali tampil solo (sendirian), namun karena kepiawaiannya dalam melawak, ternyata ia dapat membuat para penonton terpingkal-pingkal.

DIALOG DENGAN DALANG: Pementasan wayang kulit dengan pelawak Jo Klihik dan Jo Kluthuk.

Kadang-kadang, lawak Gareng juga dipertemukan bersama komedian Jo Klithik & Jo Kluthuk atau Precil & Yudho dalam satu pagelaran wayang kulit.

Memang, dengan kehadiran para komedian atau pelawak itu, pagelaran wayang kulit terlihat semakin semarak dan lebih meriah. Seperti biasanya, para pelawak itu mendapat kesempatan tampil pada saat adegan Limbuk-Cangik sekitar jam 22.30-24.00 wib, lalu dilanjutkan lagi pada gara-gara (munculnya Semar Gareng Petruk dan Bagong) sekitar jam 01.30-02.30 wib.

Tetapi, perkembangan terbaru komedian Jo Klithik & Jo Kluthuk sekarang ini langsung tampil sekitar jam 24.00 sampai jam 02.00 wib. Jadi sekali tampil saja pada adegan Limbuk-Cangik selama 2 jam, setelah itu pulang. Tidak tampil lagi pada gara-gara. Dengan demikian, mau tidak mau, karena para penonton ingin menyaksikan tampilnya para pelawak, mereka dengan sabar menunggu sampai tengah malam. Dan, seperti biasanya, usai penampilan pelawak, para penonton pun bubar.

Selain fenomena hadirnya para pelawak atau komedian, dalam pagelaran wayang kulit di masa sekarang hampir identik dengan musik campursari yang dilengkapi pula musik dangdut.

Penyanyinya adalah para sindhen atau wira pradangga yang seringkali tampil bersama para pelawak yang rata-rata piawai menyanyi atau nembang (menyanyi lagu Jawa dengan diiringi gamelan).

Kembali Ke 3 T; Tatanan, Tuntunan, Tontonan
Fenomena pagelaran wayang kulit dengan hiburan pelawak (komedian) yang sangat marak di Tulungagung dan sekitarnya akhir-akhir ini tak ayal menimbulkan pro-kontra.

Ada yang setuju dan ada pula yang kurang setuju. Bagi yang pro atau setuju terhadap pagelaran atau pementasan seperti itu boleh jadi berdalih karena mengikuti keinginan orang banyak (masyarakat).

Sebagaimana ungkapan kuno nuting zaman kelakone, makanya mau tak mau harus mengikuti ombyake wong akeh (mengikuti arus).

Kiai Amu Sidiq Amanah, pimpinan Pondok Pesantren Al Badru Alaina Ngantru-Tulungagung dikenal sebagai seorang maestro (pelindung budaya) yang senantiasa berusaha mengayomi, merawat, dan melestarikan seni-budaya. Oleh karena itu, selain mengadakan acara pengajian keagamaan di pesantrennya, Kiai Amu juga sering mengadakan pementasan wayang kulit, seperti Ki Sun Gondrong, Rudi Gareng, Ki Eko Kondo Prisdianto, Ki Sungkono, dan sebagainya, termasuk menghadirkan para seniman lawak, seperti Jo Klithik & Jo Kluthuk dan Precil & Yudho.

“Saya berusaha merangkul semua seniman, baik para dalang maupun para lawak. Nanti kalau mereka sudah akrab dan dekat dengan saya, insyaallah sedikit demi sedikit kan ada pembinaan yang mengarah pada kebaikan,” ujar Mbah Amu, panggilan akrab Kiai Amu Sidiq Amanah.

USUL DISELINGI PENGAJIAN: Kiai Amu Sidiq Amanah, pimpinan Pondok Pesantren Al Badru Alaina Kecamatan Ngantru-Tulungagung.

Kiai Amu Sidiq Amanah memang tergolong seorang penggemar berat wayang kulit, sehingga berharap agar pagelaran wayang kulit itu tetap mengandung 3 T; yakni Tatanan, Tuntunan dan Tontonan.

Belum lama ini, ketika menggelar wayang kulit bersama Ki dalang Eko Prisdianto, pada adegan Limbuk-Cangik, Mbah Amu memberikan pengajian kepada hadirin di aulanya.

Bukti bahwa Mbah Amu penggemar berat wayang kulit, dalam bulan Desember 2017 lalu ada beberapa agenda pementasan wayang kulit di rumahnya untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. Agendanya, antara lain menampilkan Ki dalang Rudi Gareng dari Blitar tanggal 8 Desember. Esoknya, tanggal 9 Desember pementasan Ki dalang Eko Kondo Prisdianto. Tanggal 10 Desember dilanjutkan pengajian oleh Gus Gendheng dari Kediri. Malam pergantian tahun baru tanggal 31 Desember wayangan lagi bersama Ki dalang Eko Kondo Prisdianto.

Dalam kesempatan itu, Mbah Amu menandaskan mengenai pentingnya hidup rukun dalam bermasyarakat dan berbangsa serta tidak saling menyalahkan antara golongan yang satu dengan lainnya.

“Sekarang ini saya memang ingin melihat pagelaran wayang kulit yang sungguh-sungguh, bagaimana dalang dan para sindhen dapat menjalankan tugasnya dalam pementasan dengan baik,” tutur Mbah Amu yang juga bos rokok Fajar Berlian.

Dalam kesempatan itu, Mbah Amu menandaskan mengenai pentingnya kerukunan umat seraya meneguhkan kembali 4 pilar bangsa, yakni dasar negara Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Kembali Ke Pakem
Sementara itu, Ki Sudjinal, sesepuh Paguyuban Ngesthi Laras di Tanggung-Campurdarat sekaligus ketua Sumbud (Sumbaga Budaya) Tulungagung menilai bahwa kebanyakan model pagelaran wayang kulit akhir-akhir ini sudah kebablasan, bahkan mengalami kemunduran luar biasa. Mengapa demikian, lantaran banyak para dalang yang tidak lagi mengindahkan pakem pedhalangan atau pakem pewayangan.

Ki Sudjinal, ketua Sumbud dan sesepuh Paguyuban Ngesthi Laras.

Menurut Ki Sudjinal, banyak sekali penyimpangan yang dilakukan para dalang era masa kini yang tidak sesuai dengan pakem. Misalnya, mengapa kayon atau gunungan dalam pementasan wayang kulit itu jumlahnya sangat banyak hingga 5-7 buah? Bukankah sesungguhnya kayon atau gunungan itu melambangkan hati? Bahkan dalam pandangan tertentu, ia (kayon, gunungan) merupakan simbol Tuhan yang mestinya hanya 1 (satu)!

“Kalau sesuai pakem, mestinya para sindhen atau wira pradangga itu duduk menghadap ke kayon atau gunungan, sehingga membelakangi penonton. Tetapi sekarang para sindhen malah menghadap kepada para penonton, bahkan mereka berdiri pada saat menyanyi. Padahal di depannya adalah para niyaga yang sebagian sudah tua. Istilahnya para sindhen itu sudah tak duwe duga (tidak sopan), ” jelas Bapa Sudjinal yang paguyubannya (Ngesthi Laras) mendapatkan bantuan seperangkat gamelan dari Kemendikbud pusat.

“Kalau kita melihat pementasan wayang kulit sekarang ini biasanya tidak ada lagi adegan Percang Cakil atau perang kembang dan adegan wejangan seorang resi atau pandhita kepada seorang ksatria. Padahal adegan itu sangat penting untuk menanamkan karakter, semangat patriotik dan budi pekerti, tetapi sekarang sudah tak ada lagi karena waktunya habis dipakai para dhagelan (pelawak). Padahal, sesuai pesan Rasulullah Saw, apakah kita ini disuruh memperbanyak tawa ataukah menangis?!” tandas Ki Sudjinal yang mengasuh seni krawitan dan pedalangan dalam Paguyuban Ngesthi Laras.

Lagi pula, tutur Ki Sudjinal, para dalang sekarang ini nampaknya lebih cenderung memamerkan kabisan (kepiawaiannya) dalam menciptakan gendhing-gendhing baru untuk mengiringi pagelarannya.

Yang diutamakan adalah gebrakannya. Hal itu sebenarnya tidaklah salah, hanya saja penempatannya gendhing seringkali kurang tepat. Dalam pementasan wayang kulit semalam suntuk, misalnya ditandai dengan tiga pathet, yakni pathet nem, sanga, dan manyura yang masing-masing memiliki tanda, nada atau lagu tertentu.

Itu pun seringkali terlanggar dalam banyak pementasan wayang kulit.
Jika mengacu pada pakem pedhalangan, sebagaimana dijelaskan Dr. Seno Sastroamidjojo dalam bukunya Renungan tentang Pertunjukan Wayang Kulit (1964) disebutkan ada lima jenis dalang, yakni;

Pertama, Dalang Sejati; yakni dalang yang menitikberatkan pertunjukannya pada berbagai cerita yang dapat dipakai tauladan bagi khalayak ramai dalam kehidupan batinnya sehari-hari. Misalnya, terlihat dominannya ajaran tentang pendidikan, kerohanian, kebatinan, filsafat hidup (sangkan paraning dumadi) dan sebagainya.

Kedua, Dalang Purba; yakni dalang yang menitikberatkan pertunjukannya pada pelbagai cerita atau selalu mengambil cerita yang dapat membangun (amurba), memberi semangat kepada penonton agar bangkit dari kebodohan, kemiskinan, keterpurukan, kesalahan dan dosa, dan seterusnya.

Ketiga, Dalang Wasesa; yakni dalang yang sangat menguasai berbagai cerita maupun teknik pedalangan, sehingga perasaan penonton gampang terbawa ke dalam suasana yang yang dipentaskan, seperti trenyuh (belas kasih), kemurahan, hati yang lapang, kesabaran, prihatin, perasaan cinta atau asmara, dan sebagainya.

Keempat, Dalang Guna; yakni dalang yang selalu berpedoman dengan pakem (aturan baku pewayangan) tanpa ditambah dengan variasi yang lain-lain dan apa adanya. Meski demikian, pementasannya tetap sarat akan nilai-nilai hikmah dalam hidup dan kehidupan ini.

Kelima, Dalang Wikalpa; yakni dalang yang mendalang hanya berdasar pakem saja.

Sementara, syarat menjadi seorang dalang dituntut kepiawaiannya dalam empat hal, yakni menguasai 1), Gendhing atau lelagoning gendhing, 2) Gendheng (maknanya ada dua, yakni a) mampu gerong atau kur paduan suara dalam mengiringi gendhing dan b) mampu mengayomi, 3) Gandhung atau mnerasa percaya diri, 4) Gendheng; yakni menganggap diri paling benar dan 5) Gandhang; (cetha lan seru, wijang wijiling wicara); suaranya jelas dan bagus.(*)

*Penulis adalah budayawan & penulis buku, tinggal di Tulungagung

                             o0o