OPINI MAHASISWA

Sejatinya Ruh Sastra pada Milenial

0

Oleh: Zulfiyah Daiyana Putri Fahriyah

Sastra adalah benda lapuk yang kita taruh digudang, tidak kita pegang lagi. Kita menyangka bahwa sastra adalah tulisan yang indah, sesudah dibaca dibuang. Padahal sastra itu ruhani, dan tak bisa kita membuangnya. Sastra sangat melekat dengan kita, tanpa kita bisa menyentuh jasadnya. Sastra bukan hal yang empiris, tapi sastra merupakan sesuatu yang menggambarkan sesuatu yang sebaiknya terjadi dalam tataran empiris. Maka, sastra tidak bisa dilihat oleh kacamata empirisme.

Atmosfer materialisme, yang penting ini sangat melekat dan mempengaruhi cara berfikir kita yang sekarang. Karena penduduk Indonesia yang paling banyak adalah dari generasi milenial, maka yang paling banyak menganut materialisme ini tentu saja adalah generasi milenial.

Generasi yang memenuhi dan terlibat aktif dalam ekspresi kebudayaan kita sekarang. Generasi milenial adalah sekelompok manusia yang lahir diatas tahun 1980-an hingga 2000-an. Generasi milenial ini juga kelompok yang sudah menikmati keajaiban internet.

Sejarah sastra Indonesia, kita mengenal adanya angkatan. Angkatan sastra adalah kumpulan penulis yang memiliki etos, visi, dan ciri khas karya yang sama pada zamannya. Ciri khas angkatan yang terkini adalah sastra yang ditulis pada media sosial. Banyak karya sastra pada angkatan ini tidak dipublikasikan berupa buku, tetapi tersebar di media sosial. Sastra berada dimana saja, generasi milenial yang mayoritas saat ini sudah memiliki akun media sosial, sangat gandrung dengan dunia tulis-menulis.

Generasi milenial merupakan generasi pengguna media sosial, baik untuk kepentingan pribadi, kelompok, ekonomi, bahkan pencarian informasi (Ainiyah, 2018: 223). Remaja milenial merupakan remaja yang sangat akrab dengan teknologi internet di mana handphone dengan system android yang menawarkan fitur dan aplikasi yang memberi kemudahan bagi remaja millenial untuk mengakses informasi seperti yang mereka inginkan. Generasi milennial sangat tidak bisa dipisahkan dari media sosial. Media sosial merupakan salah satu dari dunia maya yang saat ini telah menjadi sebuah trend yang memiliki dampak yang begitu kuat terhadap perkembangan pola fikir manusia.

Zaman sekarang generasi milenial memanfaatkan media sosial sebagai bahan mengekspresikan diri. Bahkan untuk menjadi terkenal saja sekarang tidak susah, hanya dengan mengcover lagu lewat YouTube orang bisa terkenal, atau sering memposting kalimat-kalimat motivasi di akun instagram, ada pula musikalisasi puisi yaitu dengan memadukan antara musik dan puisi, bahkan kini banyak digemari. Kini remaja mulai belomba agar karyanya bisa dilihat dan dibaca oleh banyak orang, bahkan membuka lebar-lebar bentuk apresiasi dan kritik saran dari penonton.

Untuk meminimalisasi generasi milenial yang belum menyukai sastra kini harus diatasi melalui pendekatan untuk menumbuhkan minat baca. Menurut Seno Gumira Ajidarma, ada tiga mitos sastra yang harus dihancurkan, Menurutnya, ini yang membuat sastra itu dijauhi dan membuat alergi (Saputra, 2018). Yang pertama, yakni sastra itu curhat. Kedua, bahasa sastrawan itu mendayu-dayu, rumit, asing didengar, sehingga membuat sebagian pembaca yang jarang membaca karya sastra merasa bahwa sastra bukan bagian dari bacaannya. Ketiga, sastra itu berisi pedoman hidup, petuah-petuah, nasihat-nasihat.

Adanya media sosial ini mempermudah para generasi millenial dalam mengunggah karya-karyanya di media sosial. Tapi, tidak semua anak millenial menyukai sastra. Mereka yang tidak suka menganggap karya sastra sebagai kata-kata yang lebay atau yang lainya. Fakta Generasi Sastra Milenial itu dikemukakan untuk sekurang-kurangnya meyakinkan diri sendiri bahwa terbukti dimensi sastra tidak bisa dicerabut, dihilangkan, dibuang atau ditiadakan dari makhluk manusia.

Merumuskan sastra dari perspektif transendensi atas sastra, sebagaimana tak sanggup juga merumuskan manusia dari perspektif yang memakroi manusia. Mungkin sastra itu semacam energi batin, yang berposisi hakiki, niscaya atau sejati, di dalam diri manusia. Sehingga tak mungkin terjadi manusia jika tanpa sastra. Tak mungkin manusia menjadi manusia tanpa sastra. Apabila sastra direduksi dari keutuhan manusia, akan berlangsung ketidakseimbangan yang serius.

Generasi milenial ini tidak tumbuh dari gesekan politik sastra di masa sebelumnya, tetapi dari sebuah trend sastra sebagai gaya hidup. Sastra bukan sesuatu yang ruwet dan sakral, tetapi sesuatu yang asyik-asyik saja, yang juga menyerap anasir budaya populer. Kondisi ini juga berdampak pula pada cara pandang mereka tentang sastra Indonesia secara keseluruhan. Mereka tidak lagi berurusan dengan ada atau tidaknya pusat kesenian atau pusat legitimasi sastra. Mereka mungkin tahu apa itu politik atau ideologi sastra di Indonesia, tapi tidak menjadikan semua itu sebagai soal penting. Bacaan dan pergaulan mereka membuat pusat itu meluas ke mana-mana, hingga ke seluruh dunia.

Manusia adalah getaran sejati di dalam jiwanya, di mana pengalaman sastra bisa membantunya untuk berada padanya. Manusia adalah resonansi gelombang Tuhan Yang Maha abadi, yang dibuntu dan ditimbun oleh segala jenis peradaban materialisme, namun bisa ditembus dengan lembutnya pengalaman sastra. Manusia menempuh rentang jarak antara karya sastra dengan pengalaman jiwa sastra.

Jarak antara warna, guratan, garis, gerak, bunyi, serta apa pun materi-materi lainnya, dengan jiwa di sebaliknya. Sebagaimana ia menempuh jarak dari Mushaf ke Qur`an, dari kehadiran Tuhan ke sejatinya Tuhan, dari materi karya-karya seni ke pengalaman cinta sejati. Para pelaku sastra menimba kesejatian hidup dari Sastra Ruh, dimaterikan menjadi Sastra Indera. Sedangkan pembaca sastra diantarkan ke arah sebaliknya: dari Materi Sastra ke Ruh Sastra. (*)

*) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)