Mengawal Potensi Cagar Budaya dan Agrowisata di Lumajang (3)

Kapan Pronojiwo Punya Menara Pandang “Salak Semeru View”?

Mengawal Potensi Cagar Budaya dan Agrowisata di Lumajang (3)

0
PANEN: Petani di Pronojiwo memetik salak Pondo di kebunnya. (Foto: aru/kadenews)

Potensi salak Pronojiwo sudah tidak diragukan lagi keunggulannya. Daging buahnya ini lebih tebal, rasanya lebih manis, dengan kandungan air lebih banyak. Isinya juga lebih besar dibanding salak jenis lain. Ketika sudah masak, mudah pula mengupas kulitnya. Pronojiwo selain jadi sentra produksi salak, juga akan dikembangkan sebagai kawasan agrowisata.

SEJAK tahun 1990-an, petani Pronojiwo telah mengembangkan salak pondoh asal Sleman. Salah satunya dilakukan oleh Sugito. Dan, ternyata lahan di kawasan lereng Semeru ini lebih cocok hingga mampu mengubah buah berkulit kasar itu jauh berkualitas dibanding daerah asalnya. Dari situ, salak Pronojiwo mulai jadi jadi pergunjingan dan menarik minat warga daerah lain untuk membeli salak khas lereng Semeru.

Meningkatnya penghasilan dari produksi salak itu otomatis menaikkan kesejahteraan para petani Pronojiwo. Mereka punya rumnah bagus-bagus, mobil, kuliahkan anak, dan lain-lain. “Bahkan yang namanya sepeda motor baru itu bukan lagi barang mewah lagi di sini,” ujar Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Penyuluh Pertanian Pronojiwo, Sutoto, S.Pt.

Luas lahan budidaya salak Pronojiwo mencapai 647 hektare. Sekitar 430 hektare sudah berproduksi sebanyak 10 ton/hektare. Ini jenis salak pondoh lumut. Jenis lainnya, meliputi salak pondoh madu 5 hektare dan salak gula pasir 3 hektare.

Masa panen besar terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari, disusul panen kecil di bulan Maret-April-Mei. Kemudian panen sisipan pada bulan Juni-Juli-Agustus, dan panen susulan pada bulan September-Oktober-November.

Tak heran dengan data produksi itu membuat Pronojiwo menjadi sentra produksi salak khas lereng Semeru. Bahkan di masa mendatang, Pronojiwo sudah akan dikembangkan menjadi kawasan agrowisata. Tidak hanya jadi jujugan para pedagang buah yang akan memasarkan salak tersebut, tetapi diharapkan mampu menarik wisatawan baik domistik maupun mancanegara.

Selain potensi buah salak, maka untuk meningkatkan nilai ekonomisnya, ada rekayasa menjual salak dalam bentuk olahan, seperti keripik maupun sirup. Produk olahan sirup buah salak juga telah mendapatkan tempat tersendiri di pasar. Bahkan mulai merambah pasar Kalimantan dan bahkan telah menembus pasar Malaysia.

Itu sebabnya, setelah memfungsikan Klinik Konsultasi Agribisnis (KKA) bagi petani, kini juga sedang dipikirkan bagaimana caranya agar Pronojiwo membangun kawasan wisata terpadu khusus salak dengan satu bangunan menara pandang.

“Kita ini kan sudah ada gabungan kelompok petaninya, hamparan perkebunan salaknya yang luas, adan didukung klinik konsultasi agribisnis. Nah kita ingin ada semacam pasar wisata khusus salak yang tak jauh dari hamparan perkebunan salak. Ada menara pandangnya,” terang Sutoto.

Hanya saja, untuk membuat kawasan terpadu seperti itu dibutuhkan lahan sekitar 2000 hektar. Biasanya pemerintah hanya membantu sarananya saja, sedang lahannya harus disediakan oleh pihak desa. Ini yang perlu dipikirkan ke depan. Semacam kawasan agrowisata di jalur utama Sleman menuju Candi Borobudur Magelang.

Masalahnya, harga tanah di Pronojiwo cukup mahal. Permeter tanah di pinggir jalan Rp 150.000. atau kalau masuk ke dalam Rp 100.000/meter. Sutoto berterima kasih kalau pengadaan lahan untuk pembuatan kawasan pasar salak terpadu itu difasilitasi melalui penganggaran di APBD. Ini pasti akan disambut hangat para petani.

“Kalau kita punya seperti itu,. Misalnya pakai nama “Salak View”, atau Salak Semeru View”, maka dipastikan wisatawan bakal makin mengalir ke sini,” tegas Sutoto yakin. Masalahnya kemudian, soal pengadaan lahan kawasan terpadu itu, akankah pemerintah mau memfasilitasi melalui penganggaran di APBD? (aru/habis)