Baranusa Bertekad Bentengi NKRI

Pengukuhan Pengurus Baranusa Campurdarat Jadi Percontohan Nasional

OLEH: WAWAN SUSETYA

0
SELAMAT: Pengukuhan pengurus Baranusa Kec. Campurdarat oleh Pembina Baranusa Pusat Laksamana Pertama (purn) Hadi Santoso.

TULUNGAGUNG-KADENEWS.COM: BERBAGAI macam cara yang ditempuh ormas (organisasi masyarakat) untuk membentengi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, misalnya ingin mengganti ideologi Pancasila. Disadari atau tidak, kenyataannya upaya-upaya miring seperti itu masih nampak muncul di permukaan hingga sekarang.

Upaya membentengi NKRI dari rongrongan pihak-pihak pengecut seperti itu juga dilakukan Ormas Baranusa (Barisan Adat Raja Sultan Nusantara), yakni dengan tujuan menjaga 4 pilar Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebhinekaan.

Menurut Sekjen Baranusa pusat, R. Moh. Ali Sodik M.Pdi, Baranusa memiliki tiga program penting yaitu spiritual, intelektual dan kebudayaan.

Maka dari itu, Negara Indonesia ini perlu dibantu oleh Ormas Baranusa agar negara dalam keadaan aman sentausa dan tidak terjadi gonjang-ganjing. Itulah sebabnya perlu penguatan Ormas Baranusa hingga ke kecamatan dan desa-desa, ujar R. Moh. Ali Sodik M.Pdi, Sekjen Baranusa ketika mengukuhkan pengurus Baranusa Kecamatan Campurdarat di Sasana Budaya Ngesthi Laras Tanggung Glotan belum lama ini.
Dengan dikukuhkannya pengurus Baranusa Kecamatan Campurdarat Tulungagung itu, jelas dia, hal itu menunjukkan suatu progres mengenai perkembangan Ormas Baranusa yang telah tersebar di seluruh Indonesia. Dan, kepengurusan Baranusa Campurdarat itu merupakan kepengurusan Ormas Baranusa yang pertama kali di tingkat kecamatan.

Seperti pada malam hari ini, dengan pengukuhan pengurus Baranusa Kecamatan Campurdarat Tulungagung ini tentu bisa dadi percontohan nasional, jelas Ali Sodik pada saat memberikan pengarahan di Sasana Budaya Ngesthi Laras di Desa Tanggung.

Selain menjadi Sekjen Baranusa, Ali Sodik juga menjadi Ketua MCKN (Majelis Cendekiawan Kraton Nusantara) Jawa Timur merangkap MCKN cabang Tulungagung. Dijelaskannya bahwa sebenarnya Baranusa dan MCKN tersebut merupakan sayap Ormas Yarasutra (Yayasan Raja Sultan Nusantara) yang dipimpin oleh Ir. Iskandar Mahmud Badaruddin (Sultan Palembang). Ormas Yarasutra, Baranusa dan MCKN tersebut lahir pada tahun 2015 lalu yang telah memiliki kepengurusan cabang di tingkat kabupaten/kodya yang tersebar di seluruh Indonesia. Keberadaan tiga ormas tersebut tidak hanya diakui oleh Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) saja, tetapi juga lintas kementerian seperti Kemendikbud, Kemenhan, Panglima TNI dan Kapolri RI.

Maka ketika ada pergantian Bupati/Wali Kota, Dandim, dan Kapolres di daerah, Baranusa tentu akan memberikan tanda penghormatan kepada pejabat baru dengan memberikan pesan supaya bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanah negara, ujar Ali Sodik ketika menjelaskan mengenai kedudukan Ormas Baranusa.

Menariknya, ketika acara pengukuhan pengurus Ormas Baranusa Kecamatan Campurdarat belum lama ini di rumah Ki Sudjinal di Desa Tanggung itu juga dihadiri pembina Baranusa pusat, Laksamana pertama (Purn) Hadi Santoso serta para pengurus Baranusa dan MCKN Tulungagung. Ki Sudjinal sendiri seorang budayawan, pensiunan Kandepdikbud Tulungagung sekaligus sesepuh Sanggar Ngesthi Laras yang tahun lalu mendapatkan bantuan seperangkat gamelan dari Kemendikbud pusat.

Meurut Ali Sodik, mengapa Ormas Baranusa memiliki peran penting terhadap negara, lantaran Baranusa memiliki 3 program bidang, yaitu spiritual, intelektual dan kebudayaan. Khususnya di bidang kebudayaan meliputi antara lain untuk penguatan seni tradisi, sejarah, adat dan adab yang merupakan potensi asli bangsa Indonesia.

Oleh karena itu Baranusa memiliki semangat kuat untuk melestarikan seni-budaya termasuk di dalamnya seni krawitan dan pedalangan yang menjadi kegiatan rutin di Sasana Budaya Ngesthi Laras yang diketuai Ki Handaka, S.Sos.

Selain itu, Baranusa juga tidak akan meninggalkan seni tradisi lainnya seperti jaranan, reog kendhang, genjringan utawa terbangan, dan seterusnya.

Kepengurusan Baranusa Kecamatan Campurdarat

Adapun susunan pengurus Baranusa Kecamatan Campurdarat yang dikukuhkan oleh Sekjen Baranusa Ali Sodik yaitu;

Pelindung Camat, Danramil, Kapolsek
Pembina Suyahman, Kades Tanggung
Ketua Handaka, S.Sos
Sekretaris Sugeng Riyono
Bendahara Basirin, S.Pd
Ketua bidang Adat Jawa Pamuji
Ketua bidang Krawitan Retno Harusmiarsi, SH
Ketua bidang Bedhama Alam Niken Larasingtyas
Ketua bidang Literasi Wawan Susetya dan Ari Wardhani
Ketua bidang Pedhalangan Ki Heru Rahadi dan Ki Sutarno
Ketua bidang Sastra Jawa Ki Sudjinal
Ketua bidang Humas dan Kemasyarakatan Rudi Santoso
Anggota yang sudah terdaftar sekitar 20 orang

Refleksi Pengetan Kamardikan RI Lan Suran

Dalam acara pengukuhan pengurus Baranusa Kecamatan Campurdarat Tulungagung itu ditandai dengan pengalungan medali dan sekaligus penyematan pin oleh pembina Baranusa pusat Laksamana pertama (purn) Hadi Santoso kepada para pengurus yang diketuai Handaka, S.Sos.

Usai acara pengukuhan pengurus Baranusa, dilanjutkan dengan refleksi peringatan hari kemerdekaan RI yang ke-73, peringatan tahun baru Islam Muharam 1440 dengan mengenang peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw dan sekaligus malam tirakatan bulan Suro (tahun Jawa 1952).

Pembicara utamanya Laksamana pertama (purn) Hadi Santoso sekaligus sebagai pembina Baranusa pusat seraya mengajak diskusi bersama para pengurus serta para niyaga dan pesindhen yang ikut mendukung acara itu.

Dalam kesempatan itu, Laksamana Pertama (Purn) Hadi Santoso mengatakan mengenai pentingnya makna kemerdekaan yang tidak hanya untuk bangsa dan negara Indonesia yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus saja, tetapi juga kemerdekaan terhadap jiwa atau rasa kita.

Itulah sebabnya Ki Hadi Santoso mengajak kepada para audience supaya dapat menjalankan kegiatan yang memberikan kemanfaatan dalam kehidupan ini dengan rasa yang merdeka.

Tidak hanya dengan rasa yang merdeka saja, tetapi juga menjalankan kegiatan dengan cekatan atau trampil, cerdik, cerdas, dan yang terakhir cendekia (mumpuni, ahli, expert) di bidangnya masing-masing.

Itulah tingkatan-tingkatan ketika kita bekerja untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa dalam kehidupan sehari-hari kita, tandasnya.

Apa yang dijelaskan oleh Laksamana pertama (purn) Hadi Santoso tersebut juga berkaitan dengan keberadaan Ormas MCKN (Majelis Cendekiawan Kraton Nusantara) sebagai sayap organisasi Yarasutra yang mempunyai tugas membantu Ormas Barasutra dalam menjalankan program-program kerjanya untuk dilaksanakan di masyarakat.

Sebelumnya MCKN juga sering mengadakan diskusi untuk menggali nilai-nilai filosofi mengenai budaya kuno yang selanjutkan dieja-wantahkan di era millenial ini.

Lalu apa yang dimaksud era millenial ini?
Pembina Ormas Baranusa Ki Hadi Santoso menjelaskan pula mengenai era millenial, yaitu periode 1000 tahunan.

Millenial ke-1 yaitu dimulai dari periode tahun 1-1000, millenial ke-2 tahun 1000-2000 dan millenial ke-3 tahun 2000-3000, dan seterusnya. Dengan demikian pada tahun 2018 ini kita masuk era millenial ke-3.

“Perlu diketahui bahwa tiap 50-100 tahun itu biasanya akan selalu ada perubahan zaman yang berbeda. Misalnya pada zaman millenial ke-3 seperti sekarang ini identik dengan gadget (telpon pintar), sehingga marak adanya berita hoax (berita abal-abal) dalam kehidupan sehari-hari.

Padahal sebelumnya hal-hal seperti itu tidak pernah terjadi. Oleh karena itu kita harus berhati-hati dan waspada menghadapi keadaan zaman yang berbeda seperti dewasa ini, yakni dengan cara harus lentur dan fleksibel dalam pergaulan, jelas Ki Hadi Santoso.

Tentu, apa yang disampaikan oleh Ki Hadi Santoso itu berkenaan dengan para niyaga di Sasana Budaya Ngesthi Laras yang kebanyakan memang sudah sepuh.

Mereka, para niyaga yang sepuh-sepuh itu tentu sebelumnya tidak pernah membayangkan mengenai perubahan keadaan zaman modern yang identik dengan era telekomunikasi canggih seperti sekarang.

Selain menyampaikan refleksi hari kemerdekaan RI yang ke-73, Ki Hadi Santoso juga memberikan siraman rohani berkenaan dengan peristiwa Asyura, yakni hari ke-10 di bulan Muharram mengenai peristiwa besar yang pernah dialami para Nabi/Rasul. Dalam hal ini, Ki Hadi Santoso pada malam hari itu menyampaikan refleksi mengenai beberapa hal, antara lain menyambut tahun baru Islam 1440 Hijriyah, menyambut tahun baru Jawa atau Suro (1952) dan mengenang peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw seraya tirakatan dengan diselingi diskusi dan mendengarkan suara iringan gendhing-gendhing gamelan.

Ki Hadi Santoso mengingatkan bahwa bulan Muharam itu artinya bulan suci. Lalu, apa bedanya dengan bulan Ramadhan yang juga disebut sebagai bulan suci?

Menurut Ki Hadi Santoso, bulan Muharam itu ibaratnya Gusti Allah memberikan mesin cuci canggih kepada kita; apakah kita mau menggunakan untuk membersihkan atau tidak? Gusti Allah sudah memberikan suatu bulan yaitu Muharam supaya kita mau mempergunakan untuk membersihkan diri kita melalui tirakat atau menjalani hidup dengan keprihatinan.

Wajar kiranya jika pada bulan Muharam itu banyak orang Jawa dan orang Islam yang melakukan tirakat, misalnya dengan mengurangi tidur atau berjaga di malam hari. Jelasnya bahwa dalam hal ini manusia sebagai subyek-nya, sementara di bulan suci Ramadhan itu Gusti Allah yang menjadi subyek. Gusti Allah yang memerintahkan supaya umat Islam menunaikan ibadah puasa dan Gusti Allah pula yang akan memberikan pahalanya.

Dalam kesempatan ini pula, marilah kita juga mengenang dan merenungkan peristiwa hijrahnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah. Di zaman itu, bagaimana perjalanan Kanjeng Nabi dari Makkah ke Madinah; bagaimana penerangan di jalannya, bagaimana logistik untuk kebutuhan makanannya, bagaimana keadaan ketika malam hari dan siang hari, dan seterusnya supaya peristiwa hijrah Nabi tersebut dapat merasuk ke dalam sukma kita, terang Ki Hadi Santoso yang ketika dinas di Angkatan Laut sering berpindah-pindah dalam menjalankan tugasnya.

Esensi apa yang disampaikan Ki Hadi Santoso tidak lain bagaimana akhir dari hidup kita di dunia agar bisa berjumpa dengan Yang Kagungan atau Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Apalagi makin lama umur kita terus bertambah, sehingga tidak ada jalan kecuali harus melatih olah rasa yang menuju ke alam kebatinan.
Ki Hadi Santoso juga menjelaskan mengenai pentingnya mengasah intuisi yang selanjutnya bertujuan untuk introspeksi atau mawas diri; yakni suatu proses bagaimana kita bisa menemukan kekurangan dan kesalahan kita. Semua itu merupakan olah batin yang sangat penting, terutama bagi para orang yang sudah tua.

Menge nai mawas diri tersebut, Ki Wawan Susetya yang hadir dalam kesempatan itu juga menambahkan mengenai 5 tingkatan mawas diri, yaitu;
Pertama, nandhing sarira; yaitu kita berusaha menandingkan diri kita dengan orang lain yang hasilnya kita menjadi menang. Ini merupakan tingkatan yang paling rendah dan sifatnya negatif.

Kedua, ngukur sarira; yaitu kita berusaha mengukur diri dengan kelebihan orang lain yang baik dan sukses, sehingga selanjutnya kita meneladani hal-hal positif dari orang tersebut.

Ketiga, tepa sarira; yaitu kita berusaha melihat penderitaan atau kesengsaraan orang lain lalu kita masukkan ke dalam diri kita, sehingga ketika melihat ada tetangga atau famili yang sedang sakit, kita lalu menjenguknya sebagai bentuk empati dan kepedulian kita. Dalam ajaran Agama Islam, ternyata yang dimaksud rahmat Allah itu adalah orang-orang yang memiliki rasa empati dan kepedulian terhadap penderitaan sesamanya.

Dengan demikian, orang-orang yang memiliki rasa empati dan kepedulian terhadap kesusahan atau penderitaan orang lain yang akan mendapatkan rahmat Gusti Allah.

Keempat, mawas dhiri atau introspeksi yang tujuannya menemukan kekurangan atau kesalahan diri kita.
Kelima, mulat salira hangrawani yang sinkron dengan slogan Man arafa nafsahu faqod arofa rabbahu (barangsiapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya).

Dalam kesempatan itu, Ki Sudjinal mengungkapkan rasa keprihatinannya yang mendalam berkenaan dengan banyaknya pejabat pusat maupun kepala daerah (bupati dan wali kota) yang terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK karena terkait kasus korupsi, suap, gratifikasi, dan sebagainya.

Kita prihatin sekali dengan maraknya para pejabat pusat dan daerah yang melakukan praktik tindak korupsi lalu ditangkap KPK, sehingga mereka menginap di hotel prodeo, ujar sesepuh Sasana Budaya Ngesthi Laras Tanggung Glotan. (*)