Tahun politik dan kekhawatiran siklus krisis ekonomi 10 tahunan

0

MEMASUKI tahun 2018, banyak pihak yang was-was dalam menjalankan usahanya. Selain dihadapkan pada masih melemahnya daya beli konsumen, pelaku usaha juga harus menghadapi tahun politik. Ini kian menghantui karena kenyataannya pada 2017 lalu pertumbuhan ekonomi hanya tercatat 5 persen.

Seperti diketahui, 2018 adalah tahun politik karena di 17 provinsi dan 153 kota/kabupaten digelar pesta demokrasi pemilihan kepala daerah serentak pada 27 Juni. Situasi politik bakal memanas dan dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan ekonomi.

Tak hanya itu, yang ikut menghantui pelaku usaha adalah adanya kekhawatiran terjadinya siklus krisis 10 tahunan setelah resesi melumpuhkan sebagian besar dunia pada 1998 dan krisis ekonomi 2008. Dunia pada 2018 pun dikhawatirkan akan jatuh pada krisis besar.

Tahun 2018 dan 2019 disebut sebagai tahun politik. Sebab, ada pilkada dan pemilihan umum serentak. Peristiwa itu bisa berdampak negatif terhadap ekonomi Indonesia. Namun, jika suasananya kondusif, bisa berdampak positif.

Bank Indonesia (BI) sendiri telah menyampaikan beberapa tantangan perekonomian tahun 2018 yang sudah ada di depan mata. Ada tantangan yang berasal dari faktor domestik dan faktor eksternal.

Di antaranya terkait struktur ekspor Indonesia, belum meratanya negara tujuan ekspor, ketergantungan pada impor jasa, pembiayaan dari dalam negeri yang belum optimal dan potensi risiko dari berkembangnya tren ekonomi digital. Sedangkan dari faktor eksternal yaitu kebijakan pengetatan moneter di beberapa negara, kondisi geopolitik, pemulihan ekonomi dunia yang belum mantap. Risiko lain adalah tren penguatan harga minyak dunia yang cenderung menguat dan depresiasi nilai tukar rupiah.

Kekhawatiran ini sebenarnya dipicu oleh rilis Badan Pusat Statistik (BPS) tentang pertumbuhan ekonomi kuartal III-2017 mengagetkan banyak pihak. Secara umum, pelaku ekonomi merasa kecewa terhadap kinerja ekonomi karena di bawah ekspektasi.

Perekonomian kuartal III hanya 5,06% year on year (yoy). Berdasarkan struktur pengeluarannya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,93%, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) sebesar 7,11%, ekspor 17,27%, konsumsi pemerintah 3,46%, konsumsi lembaga non profit rumah tangga (LNPRT) 6,01%, dan impor sebesar 15,09%.

Angka ini di bawah konsensus para analis yang memperkirakan ekonomi tumbuh 5,12% dan di bawah perkiraan Bank Indonesia yang memprediksi 5,17%. Namun di tengah banyaknya tantangan di tahun 2018, pemerintah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,4 persen.

Pakar ekonomi Edy Suandi Hamid mengingatkan pemerintah bahwa target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen bisa meleset. Dia memprediksi pertumbuhan ekonomi hanya 5,3 persen. “Berat mencapai target. Tiga tahun terakhir kenaikannya hanya sekitar 0,1 persen,” kata Edy.

Mantan Rektor Universitas Islam Indonesia ini mengatakan tahun politik bisa memberi manfaat positif dan negatif. Manfaat positifnya, ekonomi bisa tumbuh melalui belanja partai politik. Sedangkan efek negatifnya ada pada sisi investasi. Investor akan wait and see, menunggu keamanan dan risiko yang lain terkait dengan investasi yang ditanam.

Terkait isu mengenai siklus krisis ekonomi setiap 10 tahun merujuk pada krisis yang terjadi pada 1998 dan 2008. Penyebab utama krisis 1998 adalah nilai tukar mata uang, terutama di Asia, yang tidak fleksibel, juga tidak ada sinkronisasi terhadap kurs dan capital inflow (arus modal masuk). Sedangkan penyebab krisis 2008 salah satunya akumulasi dari risiko perkembangan teknologi.

Namun Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan kondisi ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih solid dan kuat dibanding ketika terjadi krisis ekonomi, baik pada 1998 maupun 2008.

“Saya sih lihat kalau itu enggak ada siklus-siklusan. Kalau lihat sekarang ini dengan kejadian tahun 1998 dan 2008, orang sudah banyak belajar ya, semua orang lebih hati-hati,” ucap Bambang.

Pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi 5,4 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018. Namun Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution memperkirakan ekonomi bisa tumbuh lebih tinggi daripada target tersebut.

Darmin mengatakan, ekonomi tahun 2018 akan didorong investasi dan ekspor. Keduanya tumbuh cukup baik pada 2017 dan perbaikan diharapkan terus berlanjut. Pemerintah juga akan berupaya memperbaiki pengeluaran pemerintah dan konsumsi rumah tangga agar pertumbuhan ekonomi meningkat.

Faktor pendorong lain adalah pilkada di 171 daerah. “Biasanya pemilu menyumbang 0,1 hingga 0,2 persen pertumbuhan ekonomi,” tuturnya. Sentimen positif lain datang dari penyelenggaraan Asian Games pada Agustus 2018. Pesta olahraga se-Asia itu, menurut Darmin, berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Dengan faktor pendukung tersebut, Darmin percaya ekonomi bisa tumbuh lebih tinggi daripada asumsi yang dipatok pemerintah. “Kenaikan 0,2 sampai 0,3 persen dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup reasonable (masuk akal),” ujarnya. (dit/dbs)