SDM dan Wartawan

0

Oleh: Udik Laksono

KETIKA membaca koran terkenal terbitan Jakarta, rasanya ada sesuatu yg disampaikan dalam setiap tulisan dan karya jurnalistiknya.

Di sana termuat sajian berita pendek, berita pendalaman, karya reportase, dan artikel pengetahuan. Semuanya disajikan dengan etika dan tangggungjawab.

Pembaca disuguhi ilmu pengetahuan, idiologi, budaya dan sosiologi dsbnya. Setelah itu pembaca memperoleh pengetahuan luar biasa.

Wajar kalau tetangga saya mengakui keberadaan media tersebut dengan referensinya.

Sementara ketika saya membandingkan media yg ada di seputar lingkungan saya dan termasuk punya saya sendiri, yg digarap dengan sumberdaya manusia  (SDM) seadanya, terkadang tidak diketahui latarbelakang pendidikannya, sosialnya, budayanya dan ideologinya.

Terkadang berlaku pongah, seakan medianya paling hebat dalam berkarya.
Kalau ditilik bahasa beritanya jangankan standarisasi pemberitaan, untuk standarisasi tata kalimat tidak bisa terpenuhi.

Ketika tetangga sebelah membuat aturan aturan yg mensyaratkan pribadi wartwan harus memiliki standarisasi, orang-orang di sekitar saya pun gerah. Ditambah lagi ada aturan perusahaan pers wajib memenuhi ketentuan, orang di sekitar saya pun protes.

Maka terbentuklah organisasi niatnya, menjadi kompetitor. Dengan gagah berani seakan bisa mengubah segalanya , dan ternyata SDM-nya ya Tuhan mohon ampun.

Inikah pahlawan tulisan yg disebut kaum intelektual? Mengaku intelektual ternyata TIDAK pernah berkarya. Ada yg berkarya tetapi TIDAK memenuhi standar bahkan jauh dari standar ukuran anak-anak SMA .

Dengan menyeruput  secangkir kopi pagi…. ayo kita instruspeksi diri dengan diri kita…..

*) Sekjen Majelis Pers Nasional