Wartawan dalam Pusaran Kekerasan Masyarakat

Pemberatan Pidana Pelaku Tindak Kekerasan pada Wartawan (Bagian 2)

0

Oleh: Dr. Zainal Arifin

ADA beberapa definisi tentang wartawan, di antaranya adalah wartawan itu orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Wartawan saat menjalankan tugas profesi jurnalistik, adalah menjalankan perintah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,  untuk mencari mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi pada publik. Hanya wartawanlah yang diakui sebagai profesi resmi untuk mencari, menghimpun, dan menyebarkan informasi pada publik

Terkait dengan tugas jurnalistik saat menjalankan profesi, masih saja ada tindak pidana  kekerasan dan penganiayaan  terhadap wartawan yang bentuknya berbeda. Salah satunya adalah  tindak pidana menghambat dan menghalangi berupa kekerasan yang menimpa jurnalis,  seperti penganiayaan dan pembunuhan. Penganiayaan berat salah satunya  menimpa Fuad Muhammad Syafruddin (32 tahun) yang akrab dipanggil Udin wartawan Harian Berita Nasional (Bernas), Yogyakarta, yang dianiaya oleh orang tidak dikenal, yang mengakibatkan meninggal dunia.  “Dalam posisi kasus seperti itu, Hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap pelaku kekerasan, yakni penganiayaan hingga menyebabkan  matinya wartawan saat menjalankan tugas jurnalistiknya terhadap pelaku kekerasan   divonis berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (KUHP)”.

Contoh kasus kekerasan pada wartawan saat menjalankan tugas lainnya adalah yang menimpa Narendra Pra Bangsa Wartawan Radar Bali, saat menjalankan tugas profesi jurnalistiknya dibunuh, lalu dibuang ke laut karena menuliskan berita korupsi yang terkait dengan Pemerintah. Para tersangka dijerat dengan Pasal 338 jo 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup, tanpa adanya pemberatan atau tambahan sepertiga.

Catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) hingga akhir 2013 ada 40 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Jumlah kasus kekerasan pada profesi jurnalis lebih kecil dibanding tahun 2012 sebanyak 56 kasus. “Sedang pada tahun  2011 sebanyak 49 kasus. Sejak 1996, masih ada delapan kasus pembunuhan wartawan yang belum diketahui siapa pelakunya. “Sementara itu, untuk kurun Januari hingga Mei tahun 2013 terjadi 14 kasus tindak kekerasan terhadap jurnalis. Jumlah itu juga termasuk kekerasan terhadap seorang jurnalis televisi yang dilakukan sejumlah mahasiswa saat melakukan aksi unjuk rasa terkait peringatan Tragedi Mei 1998 di depan Istana Kepresidenan.”.

Tindak kekerasan di antaranya dilakukan oleh kalangan legislator, kemudian juga aparat hukum. Kasus kekerasan terjadi di 24 provinsi. Menurut Eko Maryadi, Ketua Aliansi Jurnalis Independen periode 2011-2014, juga  Ketua  South Heas Asian Press Aiance (SEAPA) atau Organisasi Pers Asia Tenggara  periode 2014-2018,  menjelaskan pelakunya adalah oknum TNI, Polisi, DPR, dan mahasiswa. “Beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis,  hanya sedikit yang ditindak secara tegas oleh Kepolisian. Beberapa wartawan tewas dalam tugas dan sejumlah lainnya juga mendapat perlakuan kekerasan saat karya jurnalistiknya dimuat dan disiarkan ke masyarakat”.

Aliansi Jusnalis Independen (AJI) mencatat masih ada delapan kasus kekerasan hingga tewas terhadap wartawan yang pelakunya belum dihukum yakni:

  1. Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan harian Bernas, Yogyakarta, yang meninggal karena penganiayaan, 16 Agustus 1996, di Yogyakarta.
  2. Naimullah, reporter Sinar Pagi, ditemukan terbunuh pada 25 Juli 1997 di Pantai Penibungan, Kalimantan Barat.
  3. Ersa Siregar, reporter senior Rajawali Citra Televisi (RCTI), tewas ditembak dalam baku tembak antara pasukan militer Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 29 Desember 2003 di Aceh.
  4. Herliyanto, wartawan freelance, ditemukan tewas pada 29 April 2006 di Probolinggo, Jawa Timur.
  5. Ardiansyah Matra’is, wartawan Merauke TV, ditemukan tewas pada 30 Juli 2010 di Merauke.
  6. Ridwan Salamun, koresponden Sun TV, tewas pada 21 Agustus 2010 di Tual, Kepulauan Maluku, saat meliput bentrokan antarwarga desa setempat.
  7. Alfrets Mirulewan, Pemimpin Redaksi Pelangi, tewas pada 17 Desember 2010 di Kisar, Maluku.
  8. Muhammad Jamaludin, juru kamera TVRI, diculik oleh orang bersenjata di kantornya di Banda Aceh dan ditemukan tewas pada 17 Juni 2003.

Kasus tindak pidana kekerasan terhadap wartawan yang terbaru adalah menimpa wartawan Radar Bekasi (Jawa Pos Group), Randy Yosetiwan. Dia adalah korban pemukulan orang yang diduga suruhan Ketua DPD PAN Kota Bekasi dan DPC PAN Bekasi Utara pada 19 Februari 2015. Randy Yosetiawan Priogo, 27 tahun dipukuli oleh tiga orang tak dikenal di sebuah rumah makan di Jalan Serma Marzuki, Kecamatan Bekasi Selatan, pada 19 Februari 2015, pukul 17.00 WIB.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) periode 2014-2017  hasil Konggres IX di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, Suwarjono menyesalkan tindakan itu dalam pers release yang dimuat di majalah Tempo. Suwarjono mengatakan Polisi harus melakukan penindakan lex spesialis karena jelas tindakan yang dilakukan pelapor terhadap korban ada unsur pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jurnalis, menurut Suwarjono, dalam melakukan tugasnya sudah jelas mendapat perlindungan sesuai dengan Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jurnalis bisa mengadukan pelaku  yang menghalang-halangi wartawan saat bekerja karena pelaku melanggar Pasal 18 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers mengatur tentang ancaman pidana pada pelaku yang menghalang-halangi tugas jurnalis.  “Setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) dipidana dengan penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta”.

Beberapa vonis pengadilan dalam kasus kekerasan yang dinilai  kontroversial di antaranya adalah yang menimpa wartawan Sun TV, Ridwan Salamun. Tiga pelaku kekerasan yang menyebabkan terbunuhnya Ridwan Salamun divonis bebas murni. “Pembebasan tersebut merupakan bukti adanya impunitas bagi pelaku kekerasan terhadap wartawan. Selama ini pelaku pembunuhan dan kekerasan terhadap jurnalis selalu bebas dari tanggung jawab hukum”.

Ridwan Salamun dibunuh oleh sekelompok orang saat meliput bentrokan antarwarga kampung di Desa Fiditan, Kecamatan Dullah Utara, Tual, Maluku pada 21 Agustus 2010. Pelaku pembunuhan adalah sekelompok pemuda yang terlibat bentrokan. Polisi sempat menangkap 13 pelaku dan  menetapkan tiga tersangka yang akhirnya diadili di Pengadilan Negeri. Ketiga terdakwa kasus pembunuhan Ridwan Salamun yang diadili adalah Hasan Tamange, Ibrahim Raharusun, dan Sahar Renuat. Ketiganya dijerat dengan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan yang menyebabkan orang mati. Sebelumnya, terdakwa sempat dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, namun kemudian hari penuntut umum melakukan perubahan tuntutan. Oleh penuntut umum, ketiga terdakwa hanya dituntut 8 bulan penjara. Akhirnya, pada 9 Maret 2011, Pengadilan Negeri Tual menetapkan ketiga terdakwa tidak terbukti melakukan penganiayaan dan divonis bebas murni.

Kasus selanjutnya adalah kekerasan yang menimpa jurnalis Didik Herwanto dari Riau Pos. Didik menceritakan melalui hand phone pada peneliti bahwa pada saat itu sedang meliput tragedi jatuhnya pesawat tempur Hawk 200 TNI di Jalan Amal Bhakti, Pasir Putih, Desa Pandau Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, pada Selasa, 16 Oktober 2012 yang diakibatkan oleh gangguan di mesin pesawat buatan Inggris. Saat itu pesawat sedang melakukan latihan rutin dengan pilot Letda Reza Yori Prasetyo. Pilot berhasil menyelamatkan diri dengan kursi pelontar dan tidak ada korban jiwa dari penduduk karena pada saat itu keadaan lokasi jatuhnya pesawat sedang sepi. Jatuhnya pesawat tempur ini menjadi berita bagus bagi para jurnalis karena “bad news is a good”. Saat kejadian Didik Herwanto berada di lokasi jatuhnya pesawat Hawk 200 untuk melaksanakan tugas sebagai jurnalis.

Didik Herwanto adalah seorang jurnalis foto harian Riau Pos yang pada saat kejadian sedang akan mandi di rumahnya. Didik mengaku terkejut mendengar suara ledakan pesawat Hawk 200. Didik berlari menyambar tas kamera ke arah suara ledakan menggunakan motor. Lima menit kemudian sampai di lokasi kejadian jatuhnya pesawat Hawk 200 milik TNI AU di Jalan Amal Bhakti, Pasir Putih, Desa Pandau Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau.

Didik adalah jurnalis pertama yang sampai ke tempat kejadian, bahkan belum ada satu pun anggota dari TNI AU yang datang ke lokasi kejadian. Tidak lama kemudian datanglah para jurnalis lainnya dari berbagai media, dan TNI AU yang akan mengevakuasi bangkai pesawat Hawk 200. Setelah aparat TNI AU datang untuk mengevakuasi lokasi kejadian dan meminta semua orang yang berada di lokasi kejadian untuk mundur menjauh sejauh 50 meter dari lokasi jatuhnya pesawat, Didik segera mundur sambil tetap mengambil foto menggunakan kameranya.

Menurut Didik, saat sedang memotret puing kursi pelontar yang digunakan pilot untuk menyelamatkan diri, secara tiba-tiba datang Kadispers Lanud Pekanbaru Letkol Robert Simanjuntak dengan pakaian dinasnya, yang berlari ke arahnya dan berteriak, “Kamu orang mati kalau mengambil gambar…”[1] Didik mengaku ditendang Robert, Robert pun mendorongnya hingga jatuh, mencekiknya, memukul kepalanya beberapa kali, menekankan lututnya ke kandung kemih miliknya  sambil melompat, dan tiba-tiba ada seseorang dengan kostum orange merampas kamera. “Tidak hanya Letkol Robert Simanjuntak, tetapi sekitar 5 orang dari TNI AU ikut menyerang dan merampas kamera yang berisi foto-foto bangkai pesawat yang jatuh tersebut. Sebelumnya, Didik mengaku telah menunjukkan kartu pers miliknya sebagai tanda kalau dirinya adalah jurnalis dari Harian Riau Pos, namun para anggota TNI AU tersebut tidak peduli dan tetap menyerang”.[2]  “Kekerasan terhadap Didik ini kemudian dipisahkan oleh salah satu anggota POM TNI AU. Didik segera dievakuasi ke Markas POM di Kompleks LANUD Pekanbaru. Kemudian Didik segera menjelaskan kronologi kejadian kekerasan terhadap jurnalis secara resmi. Setelah itu Didik dibawa oleh pihak POM TNI AU ke RS TNI AU yang lokasinya tak jauh dari Markas POM TNI AU untuk melakukan visum dan kemudian diantar oleh beberapa rekan jurnalis dari Harian Riau Pos ke RS Eka Hospital Pekanbaru untuk melakukan perawatan”. ujar Didik Herwanto.

(Wartawan Kadenews di Kediri)