Dari Bekicot Sampai Janur Kuning

0

Oleh: Wawan Susetya*

ADA banyak sudut pandang atau wawasan mengenai ajaran Agama Islam yang digali dari unsur alam atau identik dengan kearifan lokal di Jawa yang kemudian lebih dikenal dengan Islam Jawa. Barangkali pandangan atau wawasan keislaman seperti itu terkesan aneh, tetapi setelah direnungkan lebih dalam, ternyata malah terasa nyampleng (pas) terutama ketika untuk menjelaskan kepada orang awam. Why not? Yang penting esensinya semata-mata taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), bukan untuk debat kusir.

Ketika saya berkunjung kepada wong sepuh (orang yang di-tua-kan) di pelosok desa, diam-diam guru spiritual itu malah membicarakan binatang siput yang dalam istilah di desa disebut bekicot atau kingking. Siput itu mirip pula keadaannya dengan kol atau keong. Jangan remehkan hewan-hewan seperti itu.

Mengapa? Logikanya sederhana, bila hewan itu tidak penting, lalu mengapa gedung DPR/MPR di Senayan Jakarta itu bentuknya seperti keong (emas) yang sebangsa siput, bekicot (king-king), atau kol? Bung Karno selaku penggagas gedung DPR/MPR RI tentu memiliki argumentasi penting; mengapa gedung tersebut dibuat mirip seperti hewan itu?

Entahlah apa argumentasi atau alasan Bung Karno. Tetapi yang jelas, hewan-hewan itu-keong, siput, atau bekicot atau kingking-memang memiliki keunikan, yakni sejak lahirnya telah memiliki “rumah”nya sendiri. Jelas hal itu membedakan dengan hewan atau makluk hidup lainnya. Boleh jadi yang mirip seperti itu kura-kura atau penyu dan sejenisnya. Dengan demikian, bila hewan-hewan lain hidup dalam keadaan telanjang atau tanpa “rumah”, tetapi keong, kol atau bekicot alias kingking serta kura-kura dan penyu tidak telanjang karena memiliki “rumah” yang menutupi auratnya.

Rupanya, ‘rumah’ yang dimiliki oleh keong emas, siput, bekicot (king-king), kol, dan sebagainya itu merupakan metafor dari dalam perjalanan ruhaniah manusia sebagai sesuatu yang boleh dikatakan sebagai ‘kaya jiwa’ atau ‘kaya hati’.

Hal itu senada dengan pengertian kaya menurut Rasulullah Saw yang menjelaskan melalui sabdanya: “Sesungguhnya yang dimaksud kaya itu bukanlah kaya harta, tetapi kaya hati.” (HR Bukhari).

Dengan demikian, boleh jadi sebagai sindiran, orang yang merasa tidak kaya hatinya berarti masih kalah hidupnya bila dibandingkan dengan keong emas, siput, bekicot atau kingking. Secara simbolis, semestinya para penghuni atau mereka yang berada di dalam “rumah rakyat” (gedung DPR/MPR) adalah mereka yang “kaya hati” atau “kaya jiwa”, sehingga sebutan wakil rakyat menjadi tepat dipersembahkan kepada mereka.

Menjadi wakil rakyat sudah semestinya memiliki kepekaan nurani dalam menggali aspirasi rakyat, bukannya malah merancang undang-undang dengan tujuan mempertebal kantong pribadi.

Melalui ungkapan kiratha basa (barangkali semacam otak-atik kata dalam Bahasa Jawa), menurut tokoh spiritual tadi, bekicot (king-king) tersebut sebenarnya menggambarkan sosok spiritual yang telah bek (Bhs Jawa: penuh) sesuai kadar ukurannya masing-masing.

Boleh jadi ada yang setingkat SD sampai PT (perguruan tinggi), yang penting dia telah memiliki nilai spiritual yang mendalam bagi dirinya. Sang tokoh spiritual kemudian memberikan ilustrasi, bila puluhan, ratusan hingga ribuan bekicot atau kingking dikumpulkan dalam satu tempat (wadah), tentu hewan-hewan itu akan berangkulan dengan mesra, bukannya malah saling menyakiti atau melukai.

Bahkan, mereka (bekicot atau kingking) itu akan bekerja sama atau bersinergi untuk keluar dengan cara merobohkan penutup suatu tempat (bak).

Mereka saling menjulurkan ‘orang’-nya-yang dikeluarkan dari “rumah” -nya untuk melakukan kerja sama seperti itu. Tidak ada pertengkaran dan permusuhan. Yang ada adalah kedamaian dan kerukunan.

Sedangkan kata cot (dari bekicot) yang berakhiran huruf t (T); berarti titis, tanggon, tangguh dan seterusnya yang bermakna cerdas dan perkasa. Bahkan, dilihat dari hurufnya saja (T) sudah bermakna sifat yang adil (berkeadilan), sebab bentuknya bagaikan sebuah timbangan.

Itulah sebabnya, bekicot disebut juga dengan king-king. Dalam Bahasa Inggris, kata king berarti Raja. Padahal, ada dua kata king dalam king-king atau king kuadrat; layaklah ia disebut dengan Raja Diraja. Mengapa disebut Raja Diraja? Ya, sebab hatinya telah penuh dengan kalam Ilahi .

Nah, bekicot atau king-king itulah gambaran mengenai keadaan orang yang memiliki kadar penuh dengan muatan spiritualitas walaupun sesuai dengan tingkatnya masing-masing. Lalu, bagaimana dengan para tokoh agama dan para penghuni gedung DPR/MPR sekarang?!

Lambang Rukun Islam
Lebih jauh, tokoh spiritual itu memberikan penjelasan mengenai Rukun Islam yang dilambangkan atau disimbolkan dengan pohon kelapa beserta bagian-bagiannya. Batang pohon kelapa berdiri tegak yang nampak seperti huruf Alif (huruf Hija’iyyah) itu, kata orang sepuh kepada saya, memberi isyarat seperti Syahadat; Rukun Islam pertama.
Yang kedua, kita bayangkan ada orang yang memanjat pohon kelapa, hal itu merupakan simbol sebagai Rukun Islam yang kedua, yaitu shalat. Memang, shalat itu dalam bahasa agama (Islam) identik dengan ber-mi’raj yang berarti naik untuk berjumpa dan berkomunikasi dengan Allah Swt. Sementara kata mi’raj sebagaimana yang dialami Kanjeng Nabi Muhammad adalah perjalanan dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha (Langit ke-tujuh) yang berarti naik dan kemudian sering diilustrasikan dengan kata “memanjat” (pohon kelapa).

Sampailah si pemanjat di atas pohon kelapa, lalu ia mapah (duduk bertengger di atas blarak atau daun pelepah daun kelapa). Orang Jawa sering mengistilahkan dengan ngepos; ngeposne rasa (mengistirahatkan rasa); maknanya adalah puasa (Rukun Islam ketiga). Mengapa dikatakan “istirahat” karena dalam puasa itu bukan hanya sekedar terapi ruhaniyah, tapi juga nuraniyah hingga menembus ruang private love dengan Allah Swt.

Mengapa demikian? Sebab Allah Swt menyatakan bahwa puasa itu untuk-Ku, maka Allah-lah yang akan memberikan imbalan pahalanya secara langsung kepada orang-orang yang menjalankannya.

Si pemanjat kemudian memetik buah kelapa dengan cara membacoknya dengan sabit sehingga jatuhlah buah-buah kelapa. Buah kelapa itu identik dengan zakat. Meski buah kelapa itu dijatuhkan dari atas, tetapi kenyataannya tidaklah rusak. Nanti kalau si pemanjat sudah turun, dia akan mendapati buah kelapa dengan utuh tak kurang suatu apapun.

Demikian halnya dengan infak, shadaqah dan zakat yang kita keluarkan, niscaya kelak akan kembali kepada kita jua. Namun, zakat itu bukan hanya zakat fitrah (2.5 kg beras/orang), tetapi juga zakat mal yang kisarannya mulai 2.5 persen hingga 100 persen seperti yang dilakukan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Puncaknya si pemanjat kemudian memetik janur kuning yang oleh orang Jawa kemudian diartikan (dengan kiratha basa) yaitu sejane neng nur (tujuannya menggapai Nurullah). Janur kuning biasanya dipakai ilustrasi sebagai makutha (mahkota); artinya bahwa orang yang menunaikan ibadah haji identik dengan telah mengamalkan puncak Rukun Islam, sehingga “berhak” memakai mahkota. Dan, tentu itu maksudnya haji yang mabrur.

Sadewa
Dalam khasanah pewayangan dikenal nama Nakula-Sadewa, saudara kembar dari Pandhawa. Jika Puntadewa dapat disimbolkan dengan Syahadat, Bima dengan shalat, dan Arjuna puasa, maka Nakula-Sadewa identik dengan zakat dan haji (Rukun Islam ke-empat dan ke-lima).
Mengapa zakat dan haji dikatakan kembar?

Di zaman edan seperti sekarang, boleh jadi kebanyakan orang menganggap aneh melihat ada orang mengeluarkan jutaan rupiah hanya sekedar untuk zakat dan haji. Terlebih dalam ibadah haji; mereka bukan sekedar mengeluarkan hartanya saja, tetapi juga memeras tenaga, pikiran, bekal untuk keluarganya, dan sebagainya.

Bukankah dewasa ini sangat marak praktik tindak korupsi yang dilakukan oleh oknum para pejabat dan elite politik? Artinya, mereka emoh mengeluarkan harta di jalan Allah, sebaliknya mereka menggasak dan menggerogoti uang negara atau harta rakyat.

Atau sebaliknya; mungkin pula ada pejabat, pengusaha, politisi atau artis yang beramai-ramai menunaikan ibadah haji, tetapi diam-diam dimaksudkan agar mendapat pujian masyarakat. Bahkan mereka mau merogoh koceknya hingga ratusan juta rupiah untuk membangun masjid; tak lain tujuannya untuk mencari nama baik alias pencitraan.

Madu
Dalam pandangan budayawan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun bahwa ada empat jenis air yang disebutkan di dalam al-Qur’an yang dapat diklasifikasi sebagai lambang Rukun Islam. Syahadat Rukun Islam pertama tidak disimbolkan karena Syahadat merupakan amalan batin, belum terejawantahkan dalam amaliyah nyata.

Shalat identik dengan air hujan. Artinya pencahayaan. Proses terjadinya hujan karena adanya pencahayaan; pun demikian orang yang shalat, maka mereka hendaknya dapat memberikan cahaya kepada diri dan lingkungannya.
Puasa identik dengan air khmr atau peragian. Proses perubahan dari ketela menjadi tapi memerlukan peragian, hal itu identik proses pencucian diri sebagaimana halnya puasa bagi kaum muslimin.

Zakat identik dengan susu domba. Artinya, semua susu ternak (domba, kambing, sapi, kerbau, dan sebagainya) harus diberikan kepada anaknya melalui proses menyusui. Demikian halnya dengan seorang ibu yang baru melahirkan; ia harus menyusui bayinya hingga dua tahun. Jika domba (juga ternak-ternak lainnya) dan ibu tak mau menyusui kepada anaknya, niscaya akan menjadikan penyakit. Demikian halnya dengan zakat yang tak dikeluarkan oleh orang yang berhak mengeluarkannya, niscaya juga akan menjadikan penyakit atau menjauhkan dari hidayah Allah.

Sedang haji identik dengan air madu. Sebagaimana kata Rasul bahwa madu adalah minuman yang menyehatkan dan sangat penting bagi manusia. Demikian halnya dengan haji yang mabrur; mereka adalah orang suci yang kembali fitrah, sebagaimana bayi yang baru dilahirkan.

Orang yang hajinya mabrur, tentu di dalam pergaulan kemasyarakatan selalu memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan kepada lingkungan sekitarnya, bukan merugikan.

Orang yang berhaji, jelas Cak Nun, mereka adalah meta-kategori. Orang yang berihram dalam haji sudah mengatasi kelelakiannya dan keperempuanannya. Berarti ia menapak ke level rohani, daerahnya Tuhan. Tuhan itu tidak lelaki, tidak perempuan. Juga malaikat. Bahkan lebih sederhana dari itu: yang namanya kecerdasan, intelektualitas, visi, gagasan, ide, kearifan, kebijaksanaan, kemuliaan dan seterusnya, itu semua tidak laki-laki dan tidak perempuan
Emha Ainun Nadjib mengilustrasikan orang “tipe haji” sebagai orang yang sudah sampai ke makna ihram.

Universalisme diri. De-primordialisasi. Sudah di ujung tauhid. Orang yang ‘berani’ menghilangkan identitas dirinya dalam masyarakat, karena dirinya sudah lebur dalam kehendak-Nya; sehingga amal perbuatan sehari-harinya selalu bermanfaat bagi lingkungannya. Ia manusia demokrat sejati, karena egonya sudah ia nomorduakan. Ia pemimpin yang luas daya tampungnya (Wawan Susetya; Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib; 2001).

Meski demikian, Cak Nun memberikan panilaiannya yang bersifat kualitatif tentang haji, “Tapi sesudah kita sepuluh kali naik haji, mungkin saja secara kualitatif ternyata kita belum haji. Jumlah haji juga tidak ada kaitannya dengan tingkat kebaikan sosial di masyarakatnya. Semakin banyak haji, tidak semakin sehat keadaan masyarakat dan negara….”
Kita lihat saja, apakah para pejabat dan elite politik yang sudah bergelar “haji”, sepulang haji kelak apakah benar-benar bersih dari korupsi?

*Penulis adalah sastrawan-budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung.

                                   o0o