Menyongsong Kejayaan Bangsa Nusantara

0

Oleh: Wawan Susetya*

DISADARI atau tidak, sesungguhnya Bangsa Nusantara yang sejak tahun 1945 telah bermetamorfosis menjadi RI (Republik Indonesia) pernah mengalami masa keemasan atau masa kejayaan.

Kita masih teringat betapa pada abad VII Kerajaan Sriwijaya dan abad XIV Kerajaan Majapahit telah menjadi mercusuar dunia. Setidaknya dua kerajaan tersebut telah melanglang buana terutama dengan kekuatan armada lautnya yang tangguh. Bahkan, Kerajaan Majapahit kabarnya telah menguasai setidaknya sepertiga dunia pada saat itu.

Barangkali, karena Bangsa Nusantara pernah mengalami masa kejayaan atau masa keemasan seperti itu, tidak mengherankan jika para founding fathers kita dulu menjadikan Burung Garuda sebagai lambang negara kita. Burung Garuda adalah gambaran seekor burung yang sangat kuat dan tangguh. Kekuatannya bukan saja terletak pada kedua sayapnya yang mampu terbang hingga ratusan kilometer saja, namun juga paruh dan cakarnya yang sangat dahsyat. Dengan paruh dan cakarnya, ia mampu mempertahankan diri, bahkan menghalau dari serangan musuh.

Tentu, Burung Garuda bukanlah burung pipit yang bentuknya kecil dan kemampuan terbangnya terbatas. Burung Garuda adalah personifikasi dari keadaan Bangsa Nusantara yang dahulu pernah mengalami masa keemasan atau masa kejayaan di muka bumi. Bangsa Nusantara sesungguhnya bukanlah bangsa kecil dan kerdil yang kerapkali menjadi bahan hinaan dari negara-negara lain terutama negara-negara maju. Kita memang tidak bisa menutup kenyataan bahwa bangsa kita pernah dijajah oleh Belanda selama 350 tahun dan Jepang selama 3.5 tahun. Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya kita bisa merdeka dari penjajahan itu pada tahun 1945 dengan dasar negara Pancasila dan UUD 1945.

Dengan potensi SDA (sumber daya alam) yang luar biasa, semestinya bangsa kita tidak perlu mengemis dan merengek-rengek minta dibelas-kasihani kepada bangsa-bangsa lain hanya sekedar untuk menjadi investor. Posisi kita sebagai bangsa yang menyediakan SDA engan para investor asing, nampaknya tidak sepadan, bahkan seperti bumi dan langit. Para pemimpin kita sejak dahulu sampai sekarang masih terkesan dibodohi oleh para invcstor asing, Freeport misalnya, sehingga kita tak sadar bahwa kandungan potensi SDA kita dikeruk habis-habisan oleh dan demi kemakmuran mereka.

Keadaan memprihatinkan seperti itu tak ubahnya seperti Burung Garuda yang terbelenggu di dalam sangkar emas, lalu beranak-pinak di dalam sangkar itu hingga keadaannya seperti burung pipit yang mungil. Padahal awalnya Burung Garuda suka berkelana dan melanglang buana, bukan seperti burung piaraan yang sangat jinak seperti sekarang.

Siklus Tujuh Abad (700 Tahun)
Jika kita perhatikan dengan seksama, masa keemasan atau masa kejayaan Bangsa Nusantara tadi terjadi pada abad VII dan XIV. Dalam hal ini ada rentang waktu 7 abad atau 700 tahun hingga menjadi bangsa yang disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Menjadi bangsa besar, bukan bangsa tembre yang bermental kuli—seperti diistilahkan oleh Bung Karno—sehingga bangsa kita memiliki martabat di mata bangsa-bangsa lain.

Budayawan Sudjiwo Tedjo pernah menyinggung mengenai siklus 7 (tujuh) abad atau 700 tahun sehingga Bangsa Nusantara akan bangkit dan kemudian menjadi bangsa besar di dunia. Abad VII ditambah 7 abad (700 tahun) sampai ke abad XIV lalu ditambah lagi 7 abad (700 tahun) sampai abad XXI yaitu tahun 2001-2099. Sementara kita sekarang berada pada tahun 2018 yang berarti berada pada abad XXI.

Sinyalemen yang pernah digelindingkan oleh Sudjiwo Tedjo tersebut tentu bukan berasal dari kedalaman pemikiran dia. Bangsa Nusantara memiliki tokoh-tokoh futurolog yang dahsyat, seperti Ki Rangga Warsita, Prabu Jaya Baya, Sunan Giri, Ki Sosrokartono, Ki Ageng Sela, dan sebagainya. Dalam konteks ini, Ki Rangga Warsita memang pernah mensinyalir mengenai bangkitnya Bangsa Nusantara yang diprediksi berkisar antara tahun 2035-2045.

Pun para tokoh nasional lainnya seperti Bung Karno, Ki Permadi, budayawan Emha Ainun Nadjib dan sebagainya sering mendengang-dengungkan kemungkinan bangkitnya Bangsa Nusantara hingga menjadi mercusuar dunia seperti yang pernah dialami Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Jika kita berfikir logis, segala sesuatu bukan tidak mungkin, toh apalagi bangsa kita pernah mengalaminya. Artinya, jika siklus 7 abad (700 tahun) itu terulang kembali, niscaya bangsa kita benar-benar menjadi bermartabat di antara bangsa-bangsa besar di dunia.

Belum lama ini Presiden Jokowi pada pembukaan Tanwir Muhammadiyah di Ambon Maluku sempat bercerita mengenai keadaan bangsa Indonesia pada tahun 2045. Dengan pertumbuhan ekonomi seperti sekarang, Jokowi meminta kepada Menkeu Sri Mulyani supaya menghitung bagaimana keadaan bangsa Indonesia pada tahun 2045, ternyata hasilnya sangat signifikan. Pada tahun 2045 yang berarti 100 tahun kemerdekaan RI, ternyata keadaan negara kita masuk kategori 6 negara besar di dunia. Dengan demikian, semoga saja siklus 7 abad (700 tahun) itu benar-benar terulang kembali, sehingga kita menjadi bangsa yang bermartabat dan negara kita benar-benar adil-makmur, gemah ripah loh jinawi.

Tentu, dalam konteks ini bukan dimaksudkan untuk mendekati hal-hal yang berbau klenik, tetapi berusaha membangkitkan motivasi dan semangat kita sebagai bangsa. Hal itu setidaknya menjadi bagian yang kuat dalam refleksi batin rakyat Indonesia bahwa Bangsa Nusantara kita ini dulunya merupakan bangsa yang besar, bangsa yang pernah mengalami masa keemasan atau masa kejayaan pada abad VII dan XIV.

Bagaimana pun membaca, meneliti atau mempelajari sejarah dan peradaban kita pada masa lalu merupakan sesuatu yang sangat penting. Selain dapat menambah wawasan peristiwa di masa silam, kita juga berusaha belajar dari sejarah yang telah terjadi. Sebagaimana dikatakan oleh budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) bahwa semakin jauh kita menelaah atau mempelajari peristiwa sejarah di masa lalu, maka kita akan memiliki peluang yang besar pula untuk menemukan ‘jati diri’ kita sebagai bangsa. Dalam perspektif kebangsaan, ternyata Bangsa Nusantara kita pernah mengalami masa kejayaan atau masa keemasan di zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Wajar pula jika Bung Karno pernah berpesan; “Jangan pernah melupakan sejarah!” Hal ini penting, sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa para pahlawannya. Padahal, seseorang tidak akan mengetahui pahlawannya jika tidak mengkaji masalah sejarah.   

Kembali ke Dasar Negara
Entahlah, barangkali kesadaran para pemimpin kita setengah-setengah terhadap dasar negara kita Pancasila dan UUD 1945. Hingga saat ini, bangsa kita telah mengalami amandemen UUD 1945 selama 4 kali. Terjadinya amandemen atau perubahan tersebut dilatar-belakangi karena besarnya aspirasi masyarakat sejak reformasi digulirkan. Wacana otonomi daerah (otoda) pun menggelinding kuat. Harapannya agar roda perekonomian tidak berkutat di ibukota Jakarta saja, tetapi merata ke daerah. Maklum perputaran uang pada era Orde Baru dulu sekitar 85 persen di Jakarta, sedang sisanya yang 15 persen di semua daerah di Indonesia. Pembangunan benar-benar terpusat (sentralistik) di Jakarta saja, sedang pembangunan di daerah terkesan terabaikan.

Akhirnya terjadilah amandemen terhadap UUD 1945, di antaranya mengenai pemilihan calon presiden dan wakil presiden, dan pilkada tingkat I yang memilih gubernur dan tingkat II yang memilih bupati/wali kota. Jika semula presiden dan wakil presiden dipilih oleh DPR/MPR, demikian halnya dengan gubernur dipilih oleh DPRD tingkat I dan bupati/wali kota dipilih DPRD tingkat II, maka semenjak perubahan itu ditetapkan mereka dipilih langsung oleh rakyat.

Demikian halnya dengan calon presiden dan wakil presiden (pasal 6 UUD 1945) yang semula berasal dari orang Indonesia asli, tetapi kemudian diubah menjadi WNI. Dengan demikian siapa saja yang telah berstatus sebagai WNI, mereka berhak untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden; orang nomer satu dan nomer dua di republik ini.

Sila ke-5 Pancasila disebutkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini merupakan puncak dari pengamalan Pancasila. Namun bagaimana kenyataannya? Apakah negara kita benar-benar telah menjalankan keadilan? Salah satu masalah di negara kita yang kini sedang menghangat justru terletak pada kesenjangan atau ketimpangan sosial itu. Bahkan, menurut Menkeu Sri Mulyani, 1 orang kaya di Indonesia ada setara dengan 40 juta orang miskin. Sungguh luar biasa.

Menurut Emha Ainun Nadjib, jika sila ke-5 Pancasila mengenai keadilan belum terwujud, barangkali karena ada kesalahan dalam pengamalan pada sila ke-4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Esensi sila ke-4 adalah mengenai musyawarah, tetapi kenyataannya sering voting dalam memutuskan suatu kebijakan. Artinya, jika pengamalan sila ke-4 kurang tepat, boleh jadi sebabnya karena kurang benar pula dalam pengamalan sila ke-3: Persatuan Indonesia. Kenyataannya anak-anak bangsa kita lebih cenderung senang bertengkar satu sama lain, tanpa mengindahkan pentingnya persatuan. Jika demikian karena dipengaruhi oleh sila ke-2: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Benarkah para pemimpin dan rakyat kita telah mengedepankan kemanusiaan?

Kalau belum, marilah kita tengok dan temukan benang-merahnya pada sila ke-1: Ketuhanan Yang Mahaesa, yang merupakan pondasi dasar berjalannya sila demi sila dalam Pancasila secara komprehensif. Pengamalan Ketuhanan sesuai dengan agama dan keyakinan kita masing-masing, nampaknya perlu dibenahi lagi, sehingga kaum rohaniawan dan agamawan tidak saling berbenturan pada persoalan kulit (permukaan) yang kurang esensial.

Maka, jika para elite dan pemimpin nasional mau duduk bersama dan bermusyawarah demi kebaikan bangsa dan negara dengan dibarengi ketulusan dan kesungguhan, peluang menjadikan negara kita sebagai bangsa besar di dunia bukan lagi omong-kosong.

(*Penulis adalah budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung-Jatim)