Demi Efektivitas, Ratusan Pakar Hukum Tata Negara Sarankan Menteri Koordinator Dihapus

0
KONFERENSI NASIONAL: Ratusan pakar hukum tata negara yang diundang ke Istana Negara foto bersama Presiden Jokowi dan Prof Dr Mahfud MD.

JAKARTA-KADENEWS.COM: Para pakar hukum tata negara menyarankan agar presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mempertimbangkan efektivitas keberadaan menteri koordinator (menko).

Hal ini merupakan rekomendasi hasil Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-6, di Jakarta yang berlangsung mulai 2-4 September 2019.

Konferensi ini menghasilkan rekomendasi konkret desain, postur, dan proses pembentukan kabinet yang sesuai dengan sistem presidensial berdasarkan UUD 1945.

PESERTA KONFERENSI: Wartawan Kadenews.com DR Zaenal Arifin SH (kiri) mengikuti Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-6 di Jakarta.

Menurut Ketua Panitia Konferesi, Bivitri Susanti rekomendasi ini dirangkum dari
paparan 12 narasumber dan 95 pemakalah dan diskusi yang diikuti oleh 250 orang pakar hukum tata negara.

Bivitri mengatakan menko harus ditinjau efektivitasnya. Secara konstitusional, tidak ada keharusan bagi presiden untuk tetap mempertahakan Kementerian Koordinator. Sebab, kehadiran menko hanya didasarkan pada ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang berbunyi.

“Pasal tersebut menyebutkan untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian, Presiden dapat membentuk kementerian koordinasi,” ujar Bivitri.

Kalaupun presiden masih memandang perlu adanya menko, lanjut Bivitri, harus
dipertimbangkan efektivitasnya. Apakah memberi nilai tambah bagi presiden atau tidak?

Bivitri menambahkan kerangka konstitusional mengenai kabinet terletak pada pasal 17 UUD 1945, yang kemudian diatur dalam UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Pada pasal 17 UUD 1945 menyebutkan Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.

“Semua itu diatur dalam konstitusi, pengangkatan dan pemberhentian menteri sepenuhnya ada di bawah kekuasaan presiden tanpa harus meminta persetujuan atau bahkan hanya sekedar konfirmasi kepada lembaga perwakilan.”, ujar Bivitri

Namun demikian, terkait perubahan atau pembubaran kementerian, Presiden
diharuskan untuk meminta pertimbangan kepada DPR sesuai ketentuan pasal 19 ayat satu (1) , Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Bivitri mengatakan ketentuan-ketentuan ini kelihatan jelas, namun masih banyak persoalan ketatanegaraan yang memerlukan kajian lebih lanjut.

Sebab, semua isu ketatanegaraan berjalin kelindan, atau saling terkait. Soal penentuan kabinet dan penyelenggaraan tidak akan lepas dari sistem pemerintahan, pemilihan umum (Pemilu), partai politik, dan kerangka hukum serta praktik dalam penyelenggaraan negara dan administrasi negara secara umum. Indonesia.

Menurut Bivitri yang menganut sistem presidensial dengan jumlah partai politik yang banyak, yang dipadukan dengan model pemilihan presiden yang mendorong pembentukan koalisi, menyebabkan hak prerogatif presiden untuk membentuk kabinet tidak dapat diterapkan secara
sederhana.

Selain itu, ada beberapa hal dalam praktik ketatanegaraan yang perlu didiskusikan untuk dapat menghasilkan kabinet yang lebih efektif.

Bivitri menambahkan , ada empat sub-topik yang dibahas dalam KNHTN Ke-6 ini, yakni pertama, kabinet koalisi dalam sistem presidensial multipartai, pengalaman Indonesia dan
perbandingan.

Kedua, postur kabinet dan komposisi menteri untuk membentuk kabinet yang efektif. Ketiga, relasi kabinet dengan DPR dan DPD.

Beberapa kesimpulan dari pembahasan tersebut menurut Bivitri di antaranya adalah menghapus menko yang tidak efektif dan mempertahan kementrian yang sesuai dengan konstitusi.

Hal lain yang penting menurut Bivitri adalah harus ada keterkaitan yang jelas antara sistem pemilu, sistem kepartaian, sistem perwakilan, dan sistem pemerintahan.

“Harus ada evaluasi berbagai undang-undang terkait. Beberapa hal yang perlu dievaluasi di antaranya adalah pemisahan pemilu serentak menjadi level daerah dan level nasional,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, meninjau presidential threshold atau pembatasan ambang batas untuk mencalonka presiden, visi dan misi capres harus menjadi living document.

“Jarak waktu antara pengumuman hasil Pemilu, yang terlalu jauh dengan waktu
pengambilan sumpah presiden dan wakil presiden terpilih, perlu ditinjau ulang. Jarak
yang terlalu jauh seperti saat ini terlalu banyak ruang untuk melakukan negosiasi
politik,” terang Bivitri.

Menurutnya selain itu Undang-Undang Kementerian Negara dan praktik ketatanegaraan yang menimbulkan adanya koalisi,  ternyata sangat membatasi hak prerogatif presiden dalam penentuan kabinet.

“Karena itu presiden harus memperhitungkan secara politik, posisi partai-partai politik dalam pemerintahan,” ujarnya.

Di sisi lain, menurut Bivitri ada keinginan kuat untuk memiliki kabinet yang lebih
profesional. Karenanya, penting untuk membatasi jumlah menteri yang berasal dari partai politik.

Hak prerogatif presiden harus dimaknai secara mutlak pada kriteria atau kualifikasi menteri. Meski partai politik bisa saja menawarkan kader-kader ataupun profesional yang terafiliasi dengan partainya untuk menduduki jabatan menteri.

“Namun kriteria itulah yang harus menjadi ukuran pemilihan, maupun evaluasi menteri, oleh  presiden,” tegas Bivitri. (nal/ian)